Mohon tunggu...
Mawalu
Mawalu Mohon Tunggu... Swasta -

Mawalu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Resign Hanya Karena Emosi Sesaat

11 Maret 2016   15:25 Diperbarui: 12 Maret 2016   11:15 901
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi: connectionculture.com"][/caption]Belajar dari konyolnya pengalaman salah satu kerabat aku. Dulu susah setengah mati cari kerja, masukin lamaran kemana-mana, tapi tak pernah dapat panggjlan. Dua tahun lebih setelah lulus kuliah dan diwisuda belum dapat kerja juga. Di tahun yang ketiga akhirnya dapat kerja, itu pun karena dibantu kenalan paman yang seorang HRD Manager di perusahaan Properti.

Di awal-awal kerja masih lugu dan polos. Setelah setahun lebih bekerja, mulai macam-macam, sirik sama rekan kerjanya yang gajinya lebih besar, jengkel dengan rekan kerjanya yang cepat naik posisinya, sering ngerasani atasannya begini dan begitu, enggak adil lah, suka marah-marah lah, dan lain sebagainya. Puncaknya, karena emosi sesaat lantaran ada staff baru yang baru masuk, tapi gajinya lebih tinggi dari dia, ia sakit hati dan emosi, lalu resign dari perusahaan.

Dipikirnya kalau dia resign, maka perusahaan akan bangkrut tak bisa apa-apa. Dipikirnya hanya dia yang bisa melakukan pekerjaannya, jadi kalau dia resign, maka perusahaan akan mengemis kepadanya dan menawarkan kenaikan posisi serta kenaikan gaji kepadanya. Boro-boro begitu, sehari setelah dia resign, perusahaan sudah mendapatkan penggantinya.

Sekarang ia pusing tujuh leliling, sudah hampir setahun ini belum dapat kerja lagi. Lamar kemana-mana dengan modal satu-satunya Surat Pengalaman Kerja sebagai Staff Admin itu, tetap saja enggak dapat kerjaan baru. Paman sudah tak mau bantu lagi, kesal setengah mati, sudah dibantu supaya dapat kerja, kok malah keluar.

Kini ia menyesal resign dari perusahaan terdahulu, ternyata mencari pekerjaan yang baru sekalipun sudah pernah bekerja, tak semudah yang ia bayangkan. Itu kan sama saja buang nasi yang ada di piring. Konyol, bukan?

Teman-teman kerjanya yang dulu suka ngerasani atasan mereka bareng-bareng, yang sering ngerasani gaji orang lain lebih tinggi dari mereka, kini sudah tak pernah keep in touch lagi dengannya. Makanya jangan ikut-ikutan orang lain, urus nasib masing-masing. Sekarang sudah susah dapat kerja, memangnya mereka ada bantu? Tentu saja tidak.

Orang kalau berpikir smart, dapat kerja yang baru dulu baru resign. Lha ini kok ya nekat banget, dipikirnya posisi sebagai staff Admin itu sudah hebat kali, bisa gampang dapat kerja baru. Sudah tau dulu susah setengah mati cari kerja, malah aneh-aneh. Jaman lagi susah begini dimana pertumbuhan makro ekonomi yang belum cukup kuat, bukannya pakai otak, malah pakai emosi. Bodoh banget jadi orang.

Bagaimana aku bilang ia itu bodohnya enggak ketulungan, tiap tahun itu ya sekitar dua juta penduduk Indonesia terjun ke dunia kerja, ya jelas lah tantangannya sangat besar buat para pencari kerja, persaingannya ketat. Apalagi bangsa kita adalah bangsa yang memiliki jumlah penduduk terpadat keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika Serikat, dimana setengah dari total penduduk Indonesia berumur di bawah 30 tahun, makanya jangan heran dengan jumlah pengangguran yang tinggi karena jumlah pencari kerja jauh lebih besar daripada lapangan pekerjaan yang tersedia.

Dalam setahun saja jumlah pengangguran bertambah 320 ribu orang dimana jumlah total pengangguran di Indonesia sampai saat ini berjumlah 7,56 juta orang karena lemahnya daya serap tenaga kerja di beberapa sektor industri. Begonya kerabat ku itu, sudah dapat kerja yang baik, malah sok-sokkan resign hanya lantaran emosi sesaat.

Bikin diri sok idealis sih, sekarang rasain susah dapat kerja lagi, biar tau rasa supaya lain kali kalau jadi orang mbok ya yang cerdas sedikit kenapa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun