Senja merona diufuk barat. Mentari senja memantulkan sinar jingga yang berkilauan. Seorang pria kumal dengan handuk dekil melilit dilehernya dan asap rokok Dji Sam Soe mengepul tiada henti dari bibirnya yang tebal dan menghitam karena kebanyakan merokok, tampak sibuk dengan pedal gas dan tongkat Persnelling ditangan kirinya.
Pria itu adalah Poltak Sitorus, pemilik Metromini 640 jurusan Pasar Minggu-Tanah Abang. Sejak subuh bang Poltak sudah duduk dibelakang setir Metromini bututnya itu, menyusuri padatnya jalanan kota Metropolitan Jakarta.
Setirnya kusam dengan sisa-sisa oli bekas di leher stang stir, tongkat persnelling diikat dengan potongan karet ban dalam, pedal gas dan rem disumpal kain bekas dan busa sponge yang sudah menghitam.
Berbekal surat laik jalan yang ditembaknya seharga 500 ribu rupiah dari oknum Dishub DKI. bang Poltak memacu metromini miliknya itu dengan kecepatan tinggi zig-zag dijalanan berupaya mendahului kendaraan lain untuk mengejar penumpang didepannya.
Sang Kondektur yang juga tak kalah dekilnya menggengam lembaran-lembaran seribuan dan dua ribuan lusuh ditangan kanannya, sepanjang perjalanan berteriak minggu...minggu...minggu.
Sesekali ia mengetokkan koin 500 perak ke pintu besi karatan yang diganjal ban serep dan besi dongkrak sebagai tanda untuk memberitahu bang Poltak bahwa ada penumpang yang akan turun.
Sejak dari depan Komdak sampai Kalibata, berbagai jenis pengamen dan para pembaca puisi seniman jalanan yang mengaku baru keluar penjara naik turun silih berganti.
Dari perempatan Kalibata, bang Poltak memacu Metromininya menyisir Jalan Raya Pasar Minggu dengan kecepatan tinggi sembari sesekali gas dobel untuk mengusir kendaraan didepannya. Tepat didepan Holland Bakery, sebuah sepeda motor Honda Beat memotong jalan tiba-tiba.
Bang Poltak kaget bukan kepalang, ia mengocok pedal rem dengan kakinya berkali-kali, namun apes baginya, rem tak berfungsi. Tak ayal lagi Honda Beat didepannya terpental diseruduknya. Pengendara sepeda motor itu terpelanting dan terkapar di aspal bersimbah darah.
Metromini itu oleng tak terkendali, lalu menghantam Halte didepannya. Belasan penumpang tersisa yang akan turun di Pasar Minggu serta pedagang asongan yang jualan Gunting Kuku dan Lem Korea, terluka parah.
Para pengguna jalan pun berang. Bang Poltak yang terluka diseret keluar dari dalam Metromininya itu, dihajar sampai babak belur, sedangkan kondekturnya berhasil melarikan diri dengan uang hasil tarikan. Massa yang marah membakar Metromini miliknya itu sampai ludes tak tersisa.
Sambil meringis kesakitan, bang Poltak merenungi jalan hidupnya yang penuh dengan segudang lika liku kisah hidupnya itu dari balik jeruji besi. Harta satu-satunya itu ludes dibakar orang. Sudah babak belur, masuk bui pula.
Meski terhimpit sebercak kegalauan, tapi masih ada asa yang membuncah dalam dadanya. Setelah keluar bui nanti, bang Poltak bertekad akan banting stir. Ia rencana akan balik ke Kabupaten Humbang Hasundutan dan buka usaha tambal ban disana.
Pergilah kemana pun abang ingin pergi. Jadilah seorang petarung kehidupan yang sejati. Karena orang yang berbahagia tak perlu memiliki yang terbaik dari segala hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H