Melihat fenomena ketimpanganhukum dankeadilan antara kasus nenek Asyani dan si Bupati Marianus Sae itu, aku teringat akan kisah yang ditulis oleh Hans Christian Andersen tentang seorang anak perempuan penjual korek api pada musim dingin.Â
Anak perempuan itu kedinginan ditengah hempasan hujan salju yang dingin membeku, lalu dinyalakanlah korek api itu sebatang demi sebatang untuk menghangatkan tubuhnya. Setelah nyala api korek padam, dinyalakanlah lagi korek api berikutnya untuk menghangatkan tubuhnya.Â
Namun anak perempuan itu semakin kedinginan. Batang-batang korek api yang sejatinya harus dijualnya semakin lama semakin habis dibakarnya untuk menghangatkan tuibuhnya dari hempasan salju yang dingin membeku.
Anak perempuan itu kembali kedinginan bersamaan dengan habisnya batang korek api,maka dinyalakanlah lagi korek api berikutnya, sampai akhirnya batang korek api habis, sementara salju semakin lebat dan turun terus tanpa henti,Â
Keesokan paginya orang-orang yang lewat dijalan itu menemukan anak perempuan itu telah mati membeku diantara batang-batang korek api yang berserakan di sekitarnya. Anak perempuan kecil itu dan batang-batang korek itu adalah potret hukum dan keadilan yang telah mati dan terbakar habis namun justru tak ada manfaatnya sama sekali bagi negeri ini.
Kita hanya bisa mengurut dada melihat ketimpangan hukum dan keadilan yang dialamai olehnenek Asyani, namun mau bilang apa lagi. Mereka yang memvonisnya telah mati hati nuraninya dan sisi kemanusiaan yang madani.
Miris memang.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H