Mohon tunggu...
Mawalu
Mawalu Mohon Tunggu... Swasta -

Mawalu

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Jokowi Diusir Puan Maharani, The Jakarta Post Kehilangan Kepercayaan Pembacanya

13 April 2014   23:23 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:43 16923
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="632" caption="Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (tengah) didampingi kedua anaknya Puan Maharani dan Prananda Prabowo serta bakal calon presiden PDIP Joko Widodo dan istri Iriana. (Indra Akunto/Kompas.com)"][/caption]

Salah satu Media top markotop yang terpercaya di negeri ini, The Jakarta Post, pada tanggal 12 April 2014, merilis berita bahwa Jokowi diusir oleh Puan Maharani karena dianggap tak mampu menyundul perolehan suara PDIP sebesar 30%, pada Pemilu Legislatif. Akibat pengusiran itu, Megawati pun diberitakan sampai menangis.

Ini link berita yang bikin heboh itu, Jokowi shrugs off infighting. Bagi kebanyakan orang berita itu adalah bagian dari Black Campaign untuk merontokkan simpati masyarakat Internasional terhadap PDIP yang pada Pemilu kali ini lagi diatas angin menjadi The Rising Star.

Aku awalnya percaya banget akan berita itu dan sampai menggeleng-gelengkan kepalaku kok bisa sampai sebegitunya si Puan Maharani itu yang tega mengusir Jokowi hanya karena ambisinya untuk meraup suara yang katanya ditargetkan sebesar 30% pada Pemilu Legislatif itu tak tercapai.

Berita insiden pengusiran itu ditulis oleh wartawan The Jakarta Post, Hans David Tampubolon. Berita itu ditulis dalam bahasa Inggris karena memang trah Media itu segmen market mereka adalah dunia Internasional. Namun sampai saat ini entah kenapa aku masih kesulitan mengakses berita di The Jakarta Post itu.

Di Tribunnews sudah diberitakan sanggahan-sanggahan dari pihak PDIP tentang berita pengusiran itu, dan aku pun bertanya-tanya apa mungkin media sekaliber The Jakarta Post itu berani menulis berita bohong? Apalagi kiprah media itu kelasnya dunia Internasional bukan kelas regional dalam negeri.

Namun mengingat track record mereka dalam penyajian berita untuk kalangan dunia Internasional, rasanya mustahil bin mustajab mereka mempertaruhkan kredibilitas media itu hanya untuk secuil berita bohong tentang pengusiran putri Megawati itu kepada Jokowi.

Saat ini memang belum ada pernyataan sanggahan dari Jokowi tentang insiden pengusiran itu (atau mungkin sudah ada, hanya saja aku yang ketinggalan berita), yang ada justru sanggahan-sanggahan yang gencar dilakukan oleh para petinggi di internal PDIP.

Namun demikian, ada dua hal yang dapat aku simpulkan dari pemberitaan The Jakarta Post itu, yaitu sebagai berikut;

1. Berita Itu Benar

Bisa jadi berita itu benar bahwa memang ada Conflict of Interest di internal PDIP sehingga Puan Maharani pun merasa kecewa bahwa sosok Jokowi ternyata tak mampu mendapatkan perolehan suara yang signifikan dalam Pemilu Legislatif kemarin, sehingga terjadilah insiden pengusiran Puan Maharani terhadap Jokowi.

Dan mungkin benar ada saksi mata disitu yang kenal baik dengan wartawan The Jakarta Post itu lalu memberitahunya insiden pengusiran Puan Maharani kepada Jokowi.

Namun pertanyaannya kalau memang berita itu benar kenapa link itu sulit di akses? Aku lantas berpikir positif saja dan menduga bahwa kesulitan akses halaman berita itu bisa saja terjadi lantaran server mereka keok alias crash akibat saking banyaknya orang yang mengakses halaman itu.

2. Berita Itu Bohong

Bisa jadi berita itu adalah berita bohong yang sengaja dirilis untuk mempengaruhi alam bawah sadar masyarakat internasional supaya timbulnya stigma negatif terhadap partai dengan lambang banteng bermoncong putih itu.

Kecendrungan bahwa berita itu diragukan kebenarannya bisa dilihat dari cuplikan kalimat di berita itu yang menyebutkan "berdasarkan pengakuan orang dalam PDIP yang tak mau disebut namanya", ini artinya belum tentu benar ada orang dalam PDIP yang tak mau disebutkan namanya yang mau melaporkan bocoran insiden itu.

Lagipula, betapa konyolnya orang dalam PDIP itu yang mau memberitahu borok dalam partainya yang imbasnya justru akan menumbangkan kredibilitas partai yang selama ini telah mereka bangun dengan susah payah.

Dalam ilmu bahasa, kalimat anonim "berdasarkan pengakuan orang dalam yang tak mau disebut namanya" itu adalah pernyataan bias, pernyataan abu-abu, pernyataan yang belum tentu dipastikan kebenarannya. Namun mirisnya kalimat macam begitu itu justru seringkali dilakukan oleh para kuli tinta saat ini ketika mereka merilis berita.

Aku pun juga bisa saja menulis, "Berdasarkan hasil perbincangan Mawalu dengan salah satu orang dekat Megawati yang tak mau disebutkan namanya bahwa yang akan maju menjadi Presiden RI pada Pilpres mendatang adalah Megawati bukan Jokowi". Padahal orang dekat Megawati itu hanyalah hasil rekayasa aku saja. Dan kalau ada yang mencecar aku dengan pertanyaan siapa orang dekat Megawati itu, maka akan ku jawab rahasia dong. Bisa saja demikian, bukan?

Itulah sebabnya, setiap berita yang ku baca kalau ada kalimat macam begini, "beredar isu di kalangan bla bla bla, atau kalimat "menurut sumber yang layak dipercaya katanya si anu bertemu empat mata dengan si bla bla bla", maka langsung saja ku tinggalkan berita itu sekalipun berita itu sangat menarik untuk disimak. Kenapa demikian? Karena kalimat "beredar isu, dan "katanya" itu artinya sesuatu yang belum pasti, sesuatu yang bias, sesuatu yang abu-abu, sesuatu yang tidak nyata, sesuatu yang bisa saja direkayasa.

Ini sama persis dengan pernyataan kalimat di berita itu yang menyebutkan "berdasarkan pengakuan orang dalam PDIP yang tak mau disebut namanya", itu artinya sesuatu yang belum tentu benar, sesuatu yang bias, sesuatu yang abu-abu, sesuatu yang tidak nyata, sesuatu yang bisa saja direkayasa bahwa ada orang dalam PDIP yang tak mau disebutkan namanya bertamengkan etika Jurnalistik terkait perlindungan terhadap identitas narasumber.

Namun demikian, kalau memang benar bahwa media sekaliber The Jakarta Post telah merekayasa berita yang berpotensi Hoax itu, artinya sama saja mereka membuang piring nasi di tangan mereka karena suatu saat nanti bisa saja media itu tumbang kelimpungan karena kehilangan kepercayaan dari para pembacanya.

Sebagai informasi, golongan pembaca The Jakarta Post adalah golongan menengah ke atas dan rata-rata para expatriat dan orang-orang luar negeri yang intens menyimak pemberitaan-pemberitaan up to date yang terjadi di Indonesia.

Hasilnya sudah dapat ditebak, dengan kehilangan kepercayaan pembaca dunia Internasional, maka omzet mereka akan menurun drastis, oplah pun menurun drastis sehingga pada akhirnya mereka akan rugi dan gulung tikar alias bangkrut. Sudah barang tentu wartawan yang menulis berita itu secara otomatis akan kehilangan pekerjaannya. Inilah Jokowi Effect yang sesungguhnya.

Jadi ingat tembang lawasnya Ahmad Albar mengapa kita bersandiwara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun