Kita sering kali dihadapkan pada situasi yang tak terduga, di mana kenyataan tidak selalu sesuai dengan harapan kita.
Saya ingin berbagi sedikit cerita tentang perjalanan menuju Gunung Tanggung 1458 MDPL, yang terletak di Kecamatan Pasuruan, Jawa Timur.
Ajakan untuk mendaki datang secara mendadak, hanya sehari sebelum keberangkatan. Tanpa pikir panjang, saya mengajak teman saya untuk bergabung.
Pada hari H, kami berangkat dari titik kumpul di Singosari sekitar pukul 1 pagi. Kami menggunakan lima motor, dengan satu motor di depan sebagai pemandu perjalanan, yang mengikuti peta untuk mencapai tujuan. Kami dihadapkan pada dua rute: rute cepat dan rute lambat.
Perjalanan kami mulai memasuki jalan yang rusak, yang merupakan jalan kebun. Kami sempat ragu apakah sebaiknya melanjutkan perjalanan atau berbalik arah, karena jalan yang rusak cukup panjang. Jika kami memilih melanjutkan, kami harus menempuh jalur bebatuan sepanjang 800 meter.
Kondisi jalan malam itu sangat menantang bebatuan tajam dan tanjakan curam. Ditambah, hujan yang turun sejak pagi membuat jalan menjadi becek. Meski hujan sudah berhenti saat kami melintasi jalur bebatuan, tanjakan, jalan tetap licin dan penuh lumpur.
Pengorbanan kami malam itu terasa sangat berat, penuh perjuangan. 400 meter perjalanan sudah berhasil dilalui, namun masih ada 400 meter lagi yang harus ditempuh. Motor yang kami naiki hampir terjungkal karena licinnya batu-batu di jalan, sementara beberapa teman terpaksa mendorong motor mereka karena tak sanggup melaju sendiri.
Kami pun berhenti sejenak untuk beristirahat, melepas lelah dan meredakan pegal di tangan, serta memberi kesempatan motor yang berasap untuk mendingin.
Setelah 400 meter berikutnya, kami akhirnya tiba di jalan yang lebih baik jalan desa yang alhamdulillah sudah mulus. Kami melanjutkan perjalanan dan beberapa menit kemudian tiba di basecamp pendakian.
Di situasi seperti ini, siapa yang seharusnya kita salahkan? Apakah kita akan menyalahkan teman yang memandu perjalanan? Atau menyalahkan diri sendiri karena tidak mempersiapkan dengan lebih baik?
Tentu saja, tidak. Dalam kondisi seperti ini, sikap yang tenang dan bijaksana sangat penting, dan Stoikisme mengajarkan kita untuk menerima kenyataan dengan lapang dada, meskipun hati ini terkadang ingin menggerutu.
Kami tiba di basecamp sekitar pukul 03.00 subuh, yang berarti waktu subuh hampir tiba. Beberapa dari kami beristirahat sejenak, sementara yang lain memilih untuk bermain ponsel. Setelah shalat, kami segera melanjutkan pendakian.
Meskipun kabut tebal menyelimuti, kami tidak hanya mengejar sunrise sebagai tujuan, tetapi juga menikmati setiap langkah perjalanan kicauan burung, hembusan angin, serta udara dingin yang menusuk tubuh.
Setelah sekitar dua jam berjalan, kami akhirnya tiba di puncak dan menikmati pemandangan sambil menyantap camilan. Meskipun kabut menyelimuti puncak, kami tetap bersyukur, karena itu adalah bagian dari kenyataan yang tidak bisa kita ubah.
Tiba-tiba, hujan turun dengan derasnya. Kami sebenarnya masih ingin menikmati pemandangan, tetapi tak ingin melewatkan momen berharga ini, jadi kami segera mengambil beberapa foto meski dalam hujan deras.
Perjalanan pulang dari puncak pun penuh tantangan. Hujan yang mengguyur membuat jalan menjadi licin dan becek, sehingga kami harus lebih berhati-hati.
Keseimbangan dan konsentrasi sangat dibutuhkan, karena satu langkah salah bisa membuat kita terpleset. Dan, tentu saja, saya lupa membawa jas hujan, jadi saya kehujanan sepanjang jalan.
Setelah beberapa menit, kami sampai kembali di basecamp. Kami beristirahat sejenak dan membersihkan diri, meskipun tidak membawa pakaian ganti, sehingga kami tetap basah kuyup.
Meskipun dingin mulai menusuk tulang, kami tidak bisa berbuat banyak. Saat itu, hujan semakin deras, dan kami memutuskan untuk menunggu hujan reda sebelum kembali pulang.
Di basecamp, ada permainan UNO yang mengisi waktu luang, kami bersenda gurau tenyata mampu melupakan  rasa dingin ini. Kami bermain sekitar satu jam, meskipun hujan belum juga berhenti. Beberapa dari kami memesan teh, mie, dan snack sisa dari puncak tadi.
Suasana pun semakin lengang, satu per satu ada yang tertidur, sementara yang lainnya masih bertahan bermain UNO. Akhirnya, kami semua tertidur sejenak, meskipun dengan tubuh yang basah kuyup dan dingin yang menyusup ke tulang.
Akhirnya, hujan reda, dan kami memutuskan untuk pulang. yeyyy....Perjalanan pun selesai.
Saya pun sudah tahu risikonya karena musim hujan, jadi wajar saja di gunung akan ada kabut. Cuaca yang tak menentu adalah tantangan yang harus dihadapi, namun justru dari situ kita bisa belajar untuk lebih bersabar dan menghadapi kenyataan dengan kepala dingin
Stoikisme mengajarkan kita untuk selalu menjaga ketenangan dan kebijaksanaan dalam menghadapi setiap situasi, karena hidup penuh dengan ketidakpastian.
Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, namun yang terpenting adalah bagaimana kita merespons dan menerima kenyataan dengan hati yang lapang.
 Dengan prinsip ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih tenang, tidak mudah terpengaruh oleh keadaan, dan mampu belajar dari setiap pengalaman yang datang.
Stoikisme mengajarkan kita untuk menjadi kuat bukan karena menghindari tantangan, tetapi karena cara kita menyikapinya dengan bijaksana dan penuh pengert
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H