Perlindungan Hukum Terhadap Pasien dan Dokter Akibat Adanya Perjanjian Informed Consent. Menurut Syahrul Machmud (2012), hubungan antara dokter dan pasien bisa dibagi menjadi tiga tahap:
- Pasien pasif: Pasien sepenuhnya menyerahkan keputusan pada dokter karena merasa dokter lebih tahu atau karena kondisi pasien.
- Kerja sama terbatas: Pasien ikut serta dalam proses pengobatan, tapi dokter tetap yang memutuskan tindakan medis.
- Kerja sama penuh: Pasien dan dokter sama-sama terlibat dalam pengambilan keputusan, dengan komunikasi yang intens.
Â
Berdasarkan pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Hubungan perjanjian antara dokter dan pasien juga diatur dalam 1320 KUHPerdata dengan syarat-syarat sebagai berikut:
- Kesepakatan antara dokter dan pasien guna mewujudkan kesehatan pasien didasarkan tanpa adanya unsur pemaksaan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pasal 39 Praktik Kedokteran dan Pasal 1323 sampai dengan 1328 KUHPerdata.
- Pihak-pihak yang mengadakan perjanjian memenuhi syarat dan didasarkan pada upaya penyembuhan
- Perjanjian dibuat tidak melanggar undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Berdasarkan Undang-Undang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (3) menyatakan penjelasan yang utuh untuk pasien yang diberikan sekurangnya meliputi:
- Diagnosis dan tata cara tindakan medis
- Â
- Tujauan tinda.kan me.dis dilakukan
- Â
- Alternatif tindakan lain dan resikonya
- Â
- Risiko komplikasi yang mungkin terjadi
- Â
- Prognosis tindakan yang dilakukan[3]
Â
Kedudukan hukum informed consent dalam praktik kedokteran di Indonesia Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara tegas mengatur kewajiban tenaga kesehatan untuk memberikan informed consent kepada pasien sebelum melakukan tindakan medis. Kegagalan dalam memenuhi kewajiban ini memiliki konsekuensi hukum yang serius. Jika seorang dokter melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien yang sah, maka ia dapat dijerat dengan berbagai tuntutan hukum. Secara perdata, pasien dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata, menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialami. Lebih jauh lagi, jika tindakan medis tersebut mengakibatkan cedera serius atau kematian, dokter dapat dijerat dengan tindak pidana penganiayaan sesuai dengan Pasal 351 KUHP. Selain aspek perdata dan pidana, pelanggaran terhadap prinsip informed consent juga dapat berdampak pada aspek administratif. Dokter yang terbukti bersalah dapat dikenai sanksi pencabutan izin praktik sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 Tahun 2008. Sanksi ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari praktik medis yang tidak profesional dan menjaga kualitas pelayanan kesehatan.
Â
KESIMPULAN
 Informed consent merupakan pilar fundamental dalam hubungan dokter-pasien. Pelaksanaan informed consent yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum dan etika kedokteran dapat berakibat serius. Bagi pasien, hal ini dapat mengakibatkan kerugian fisik, mental, dan bahkan kematian jika terjadi komplikasi yang tidak terduga akibat tindakan medis yang tidak disetujui. Bagi tenaga medis, pelanggaran terhadap informed consent dapat berujung pada tuntutan hukum, sanksi administratif, dan bahkan pencabutan izin praktik. Selain itu, pelanggaran terhadap informed consent juga dapat merusak reputasi profesi kedokteran secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi seluruh pihak terkait, baik pemerintah, organisasi profesi, maupun tenaga medis sendiri, untuk berkomitmen dalam meningkatkan kualitas pelaksanaan informed consent di Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H