Mohon tunggu...
MAVASYA CHANNEL
MAVASYA CHANNEL Mohon Tunggu... Guru - Mavasya

Seorang pendidik sekaligus ibu rumah tangga yang sedang belajar dan berlatih menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jodoh dan Istikhoroh

29 September 2020   00:07 Diperbarui: 29 September 2020   00:12 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Namanya siapa? " paman menanyakan nama seseorang yang saat ini dekat denganku. Saat aku sengaja datang untuk bekonsultasi dengan beliau. Paman adalah satu-satunya keluargaku yang dituakan setelah ayah meninggal dunia beberapa tahun silam. 

"Namanya Adli,  Adli Hakim lengkapnya,  Mang. " kataku. Berharap paman mau melihat dari sisi batinnya tentang calonku itu. Aku melihat Beliau adalah benar-benar orang yang sholeh,  puasanya hampir setiap hari, kecuali mungkin hari-hari yang dilarang berpuasa. Bahkan, sholat malamnya juga tidak pernah tertinggal. Ayahku dulu juga sangat percaya dengan kemampuan supranatural paman.  Konon katanya gambaran mimpinya 80 persen benar dan terbukti. 

"Mm.. Nama orang tuanya siapa?" lanjutnya sambil memandang ke arahku. Aku sedikit bingung. Memang kami baru saja saling mengenal,  jadi belum sampai mengenal orang tuanya. 

"Aku tidak tahu, Mang. Kebetulan saya belum lama mengenalnya. " kataku sambil agak malu melihat wajah paman.  Terlihat kening paman berlipat,  tanda sedang berfikir atau mungkin juga melihatku dengan tatapan aneh.

"Baiklah, Mamang coba istikhoroh dulu, mudah-mudahan hasilnya baik. Kamu pulang dulu saja,  tunggu kabar dari Mamang" 

Aku mengaminkan ucapan paman dan segera beranjak dari kursi. 

"Baik, Mang,  saya permisi." kataku akhirnya, sambil menyalami dan mencium punggung tangannya.

####

Adli Hakim, mungkin cowok yang baru kukenal belum genap satu bulan sudah mengisi hari-hariku. Tampangnya yang cukup ganteng ditopang dengan materi yang berkecukupan, langsung menghipnotisku untuk menerima ajakannya untuk ta'aruf. 

Selama hampir satu bulan ini komunikasi kami hanya melalui chating, hanya sekali dua kali kami bertemu dan bertatap muka secara langsung. Meskipun begitu,  aku merasa dia adalah orang yang tepat,  yang memang Allah kirimkan untuk aku dan jawaban atas doa-doaku selama ini. Aku begitu bahagia bertemu dengannya. 

Komunikasi kami juga cukup lancar,  meskipun hanya sebatas "say hallo" dan menanyakan kabar.  Pertanyaan ritual kami setiap hari adalah "lagi ngapain? "sudah makan belum? "mimpi indah ya". Kalimat itu yang  senantiasa menghiasi untuk memecah kekakuan di antara kami.

Meskipun komunikasi kami agak kaku,  tapi entah mengapa hatiku rasanya sudah mantap. Belum pernah aku merasa semantap ini dalam menjalin hubungan dengan seseorang. Aku merasa ingin cepat-cepat disegerakan ke jenjang yang lebih serius. Aku sangat yakin akan hal itu. 

####

Paman memintaku datang ke rumahnya, akan menyampaikan hasil istikhorohnya hari ini. Aku begitu tergesa-gesa dan penasaran dengan hasilnya. Setelah selesai bekerja,  aku sempatkan mampir ke rumah paman. Kulihat paman sudah menungguku di beranda rumahnya. Melihat aku datang,  paman langsung mengajak masuk ke ruang tamu. 

"Ndin, paman semalam mendapatkan gambaran yang bagus.  Kamu benar-bemar cocok jika bersatu dengannya. " Kata pamanku sambil tersenyum. Aku juga tersenyum. Akhirnya hasil yang ku tunggu sesuai yang kuharapkan. Merasa bahagia dalam hati, sedikit melayang. 

"Kalau bisa dipercepat saja, Ndin.  minta dia segera melamar kamu. "lanjut paman lagi. Aku hanya mengangguk. Setelah berbicara sebentar,  aku langsung pamit pulang.  Jujur aku merasa lega dan harapanku semakin besar padanya. 

####

Hari ini Mas Adli tidak menghubungi aku. Bahkan sudah hampir seminggu ini tidak memberikan kabar apapun. Kalimat ritual yang menghiasi chatingan kami juga tidak ada.  Aku gelisah. Di saat hatiku sudah mantap,  mengapa sepertinya Mas Adli justru malah menjauhiku. Aku merasa ada yang aneh. 

Dengan perasaan malu,  aku mencoba mulai menyapa duluan,  padahal itu hal tabu bagiku, tapi aku menepis rasa malu ku, berharap dapat menyambung kembali hubungan kami yang mulai merenggang. 

"Mas,  apa kabar? " pesanku terkirim. Satu menit,  dua menit, satu jam, dua jam. Tak ada balasan. Aku lihat layar hape ku,  tidak ada notifikasi masuk.  Aku semakin gelisah, kenapa dia tidak membalas pesanku? Prasangka buruk mulai bermunculan dalam fikiranku, jangan-jangan dia sudah mendapatkan incaran baru? segera kutepis prasangkaku, aku berhusnudzon saja barangkali dia sedang sibuk dengan pekerjaannya, sehingga belum sempat membalas pesanku.  Sampai malam tiba pertanyaanku pun dibiarkan tak terbalas, meskipun tanda contreng biru itu terlihat.

Keesokan harinya,  aku masih penasaran dengan kabar Mas Adli,  akhirnya kuputuskan mengirim pesan lagi. 

"Mas,  udah bangun belum? " setelah pesan terkirim,  aku terus menghitung jam sambil sesekali melihat layar hape, berharap ada jawaban masuk. Hingga sore hari pun tiba,  pesanku juga menggantung, tak terbalas. Fix,  aku merasa ini sepertinya ada yang aneh,  kenapa Mas Adli menjadi begini.  Aku merasa tak sabar dan  ingin segera menyelesaikan ketidakmenentuan ini. Akhirnya aku telepon dia,  berharap akan ada jawaban mengapa dia tak pernah membalas pesan-pesanku selama ini. 

Sampai nada dering berhenti,  telepon ku pun tak diangkat. Aku benar-benar tak mengerti jalan pikiran Mas Adli,  kesalahan dan dosa apa yang kuperbuat sampai dia tak mau lagi membalas pesan dan mengangkat teleponku. 

Tanpa terasa air mataku bercucuran. Aku begitu nelangsa dan sudah berharap lebih kepadanya,  ternyata aku diacuhkan begitu saja tanpa kata, tanpa suara, yang kutahu sampai saat ini aku belum memahami sikapnya yang tak memberi alasan apapun kenapa dia menjadi seperti ini. 

####

"Punten, Assalamualaikum" kudengar ada yang mengetuk pintu depan. 

"Waalaikumussalam,"jawabku sambil membuka pintu. Kulihat ada seseorang yang tidak kukenal sambil membawa tumpukan kertas berwarna gading, terlihat seperti kertas undangan. 

"Apa betul ini rumahnya Ibu Andin? "tanya orang itu,  hampir mengagetkanku. 

"Oh iya, betul. Ada apa ya?"aku balik bertanya

"Ini ada undangan, Bu. " sambil menyodorkan  satu lembar. 

"Oh iya, makasih, Mas. "

"Sama-sama, Bu.  Saya permisi. Assalamualaikum." pamitnya. Aku segera menutup pintu dan penasaran dengan undangan itu. 

Mataku melotot,  hampir tak percaya dengan apa yang kulihat. Sekali lagi aku baca isi undangan itu dan hasilnya masih tetap sama. Nama yang tertulis di dalam undangan pernikahan itu adalah ADLI dan DINDA. 

Mataku tak terasa sudah basah. Keringat dingin mengucur membasahi baju yang kupakai, aku tidak peduli. Tak henti-hentinya aku menangis. Orang yang sedang kutunggu kabarnya, membalas dengan undangan, benar-benar kejam. 

Ternyata apa yang aku takutkan terjadi. Dia tak memutuskan apapun kepadaku, tqpi undangan yang berbicara. Aku begitu sakit,  tubuhku pun seolah-olah merasakan hal yang sama, begitu lemas. Air mataku hampir habis, menangisi orang yang aku harapkan akan mendampingi sepanjang hidupku, ternyata berpaling kepada yang lain. Aku terlampau jauh terbang, jatuhnya pun sakit sekali. Aku bermimpi terlalu tinggi, yang tak mampu kuraih. 

Lamat-lamat kudengar suara Desy Ratnasari menyanyikan lagu "Tenda Biru"

"Tanpa undangan diriku kau tinggalkan, Tanpa berdosa diriku kau buat ku kecewa..."

Semakin lengkap penderitaanku hari ini. 

####

Paman memanggilku lagi hari ini agar aku datang ke rumahnya. Aku sudah menerka apa yang paman ingin tanyakan. Aku gelisah, apa yang harus aku katakan pada paman nanti. 

Setelah beberapa menit,  kuputuskan segera ke rumah paman dan kulihat Beliau sedang menungguku di beranda. Melihat aku datang,  paman langsung berdiri dan mengajakku masuk. 

"Bagaimana,  Ndin? " paman melihat wajahku yang sendu. Tanpa sadar, air mataku kembali mengalir deras. Paman mengelus kepalaku. 

"Sudahlah,  Ndin, Mamang tahu apa yang kamu rasakan.  Jangan sedih. Nanti siuatu saat akan datang jodoh yang tepat untukmu. "aku kaget, kenapa paman sepertinya tahu apa yang aku alami, padahal sedikitpun aku tak berbicara. 

"Kata Mamang,  hasil istikhorohnya bagus?"tanyaku berharap jawaban yang pasti, disela-sela tangisanku. 

"Memang bagus, jika dia menjadi jodohmu, Ndin. kelak kamu akan mendapatkan kehidupan yang cukup baik dengannya, itu gambaran Mamang, tapi kembali lagi bahwa soal jodoh itu urusan Gusti Allah kita manusia hanya berikhtiar. Tak perlu bersedih,  serahkan semuanya pada Allah. La haula wa la quwwata illa billahil aliyyil adzim "

Aku mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan-pelan, berharap beban yang menghimpit dadaku segera hilang. Ahh.. Rasanya dadaku sedikit ringan.

Aku berharap aku akan bertemu jodohku yang lebih baik lagi, segera kututup episode Mas Adli dari hatiku, meskipun sulit. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun