Karena ego tak kenal kurun, tanpa terasa, ia melambat laun...
Sampul kita memang seolah semangat dalam berperan, teguh dalam berpendirian, kokoh dalam berbuat kebaikan, dan stabil dalam menghadapi rintangan. Hingga kita memaksa jalan apapun untuk memrinsipkan stigma yang telah terdeklarasikan di banyak pandang mata manusia. Ia menjadi harga mati dalam misi orientasi. Hingga kita mulai samar akan kesederhanaan, dan mulai melucuti makna kerumitan, dengan iming pertahanan.
Cermin.
Menjadi penyelaras antara zahir dan batin, menjadi penengah antara nafsu dan ingin, dan menjadi penerjemah antara pasti dan mungkin. Menjadi denah koordinat yang membisiki dimana sukma kita seharusnya bermukim, ditengah polemik kepercayaan yang semakin minim. Ia membuat kita berfikir dua belas kali, saat mulai goyah dengan yang nisbi. Membuat kita tertegun lagi, saat mulai hirau dengan yang hanya asumsi. Membuat kita terpaku kedepan, saat mulai menoleh pada kelakar yang fiksi. Ia menguatkan, saat kita mulai risau dengan hujam kalimat restorsi.
Hingga sampailah kita pada sekian banyak keping sejarah yang menggiring teori baru dalam konsesi diri. Entah keberapa pastinya, namun ia selalu berhasil membuat kita menelan ludah dari apa yang sudah-sudah. Kali ini, kita mendapatkan hadiah menakjubkan berwujud kesempatan untuk menatap dunia baru yang sebelumnya kita tidak meyakininya tercipta. Kita diberi waktu untuk lepas dari belenggu himpitan yang justru beberapanya diciptakan oleh tangan kita sendiri. Kita diberi ilmu untuk menikmati atmosfer yang lebih luas, entah pada lapisan mana semestinya, namun semua itu telah berhasil. Sungguh berhasil.
Membuat makhluk seperti kita yang hanya berlagak dungu, meyakini bahwa kini itu bukan hanya 'lagak'.
Cermin.
Tetaplah kokoh.
Bayangmu masih disini.
Tidak pergi walau selangkah. Tidak mundur walau sejengkal.
Salam Ambigu
11.10.19