Mohon tunggu...
Intan Maurissa
Intan Maurissa Mohon Tunggu... Jurnalis - Guru Pondok Modern Darussalam Gontor Putri Kampus 2

MASA MUDA MASA YANG BERAPI-API

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ambigu

14 Februari 2020   15:09 Diperbarui: 14 Februari 2020   16:55 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

AMBIGU

Cermin. Adalah perangkat solid yang menyajikan pembiasan cahaya secara kongkrit. Elok dan empiris. Gamblang dan menyeluruh. Tanpa kata. Tanpa dusta. Ia mempersembahkan replika bentuk induk semangnya secara rinci setiap inci. Tanpa pernah memilih, tanpa bisa memilah. Maka ia bisa menjadi magnet kesyukuran bagi hati yang mengharap ghofur. Dan medan kekufuran bagi hati yang berlapis takabbur.

Segala hal yang bersangkutan dengan fungsinya tak lain adalah untuk bersolek. Yang jika dijabarkan atas sub sistemnya akan hadir beberapa definisi seperti memahami, untuk kemudian memperbaiki. Mengerti, untuk kemudian membenahi. Atau menyadari, lalu kemudian menyudahi.

Setiap perilaku apik maupun sarkastik, akan kembali kepada apa atau siapa yang melakukannya. Jika kita menghancurkannya, tangan kita yang terluka karenanya. 

Jika kita memakinya, diri kita yang terpampang disana. Pun jika kita mengkhianatinya, dia dapat mengkhianati kita dalam waktu yang sama. Karena inti sel cermin adalah duplikasi. Ya. Duplikasi "diri kita" sendiri, sang sahabat sejati dalam berkoalisi, pun musuh sepadan dalam beroposisi. Sang pondasi paten dalam merumuskan intuisi, pun godam penghancur dalam jeratan ambisi.

Menilik realita hayati yang terjadi dengan lumrahnya, mungkin satu dua memang tidak etik, sebagian mengusik, sebagian yang lain mencekik. Membuat kita mengeratkan sabuk pengaman untuk senantiasa bersiap akan kelok terjal haluan. Memaksa diri untuk dapat sigap dalam mengambil setiap keputusan. Jangankan untuk beberapa hari kedepan, hasil akhir perjalanan pun sudah kita bayangkan. 

Kita dibalik helai paradoks kehidupan, menggandeng ribuan amunisi pertahanan, untuk siaga atas segala kemungkinan. Kita sibuk menghunus arus yang berlawanan. Hingga mungkin kita lupa...

Akan perlunya merangkul keadaan...

Cermin.

Bagi ruh yang abai untuk mengamati, Ia hanya benda mati yang meninggalkan sangsi. Namun bagi ruh yang sudi untuk mengkaji, ia bisa bernilai lebih dari sekedar ilusi. Semoga apa yang kita yakini saat ini, sudah benar menuntun kita dengan lentera yang hakiki, bukan menenggelamkan kita kepada renggutan kontradiksi. Semoga menerbangkan banyak hikmah yang lepas membumbung, bukan memasungnya dalam dada dengan ragu dan limbung.

Sungguh apalah daya tanpa raga dan jiwa yang bersua. Apalah paradigma tanpa kalbu yang mampu menghalau rinai kelabu. Apalah genggam tanpa perjuangan untuk terus saling membangkitkan. Dan apalah kisah tanpa naluri yang terarah. Kita menjaga rasio, agar hati tak kunjung keruh. Kita menjaga rasa, agar akal peduli akan rengkuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun