Mohon tunggu...
Maurin Viany
Maurin Viany Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang penulis amatir.

Booklover.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memilih Netral, Apakah Sama dengan Apatis?

13 Mei 2018   01:17 Diperbarui: 13 Mei 2018   01:22 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo Kompasianer ! 

Kali ini saya mau membahas hal-hal yang ringan saja, sesuai dengan apa yang saya mampu dan rasakan sendiri. Jadi begini, dalam dunia politik, di mana saya mulai mengetahui dan mengalami apa yang namanya itu politik kampus. Oke, mengapa contohnya politik kampus? dan mengapa judulnya adalah tentang kenetralan ? Ya, karena saya sendiri seseorang yang netral dan tidak berpihak kemana pun di dalam partai-partai yang ada di kampus saya. 

Namun, setelah kurang lebih setahun menjalani hidup sebagai mahasiswa yang di cap apatis, saya mulai merasakan hidup saya sedikit terusik dengan teman-teman yang mengajak saya ikut ke salah satu partai. Masalahnya, saya sulit untuk menjelaskan kepada mereka mengapa saya terus menolak. 

Sudah capek menolak dengan senyuman dan kata-kata yang halus, takutnya mereka tersinggung, apalagi teman-teman saya yang perempuan. Mudah sih, kalau menolak mentah-mentah dan berkata jujur mengapa saya memilih untuk  netral. Tapi kan tidak etis sama sekali, siapapun itu orangnya. Di dalam pengajakan itu, salah satu teman saya yang cukup lihai (namun tidak berhasil membujuk saya) agak menyinggung tentang kenetralan saya. 

"Ih padahal kalau kamu masuk partai kan bisa dapet temen banyak, koneksi luas, dan pengetahuan bertambah." 

Saya hanya tersenyum. Menurut saya, hal-hal di atas bukan murni jika saya ikut ke partai itu. Saya pun sudah mengikuti sebuah komunitas sosial berbasis sukarela di fakultas. Sudah cukup mendapatkan setidaknya tiga hal tersebut. 

Lalu, apa alasan saya memilih menjadi seorang netral ? Apa benar saya ini apatis ? Tentu di setiap pilihan pasti ada alasan. 

Pertama, politik kampus yang tidak sehat. Dari awal, saya melihat ada ketidakberesan dari partai-partai ini. Mendengar cerita seorang teman begini, namun mendengar cerita teman lain yang berbeda partai, begitu. Jadi mana yang benar ? Sudahlah, sebagai mahasiswa yang (seharusnya) sudah dewasa, bisa memilih mana yang benar dan salah. Jadi saya putuskan untuk netral. Karena menurut saya, itu yang benar.

Kedua, merekrut anggota baru dengan tujuan utama memenangkan kontestasi. Di waktu-waktu tertentu, lebih tepatnya mendekati pemilu kampus. Banyak sekali teman yang tiba-tiba menghubungi saya dan juga teman-teman lain yang masih netral untuk memilih calon ketua yang mereka usung. Berbagai metode digunakan. 

Ada yang to the point mengajak, mendekati lawan jenis agar merasa nyaman, hingga berdebat dengan menunjukkan fakta dan data. Ketika mereka menghubungi saya dan ada yang mengajak makan bersama, saya sudah punya jurus sendiri untuk menolak(takut malah saya yang membayar haha).

Karena saya sudah tahu, mereka hanya butuh saya sebentar, lalu pergi. Padahal, tak perlu dibujuk atau dimobilisasi, saya sudah pasti memilih sesuai kualitas mereka dari hati nurani. Bukan melihat partai apa yang mengusung. Kalau kurang bagus, mana mungkin saya pilih. 

Ketiga, nepotisme yang kerap terjadi dan mencoba untuk berusaha sendiri dengan jujur. Memang, menjadi kader partai itu lebih leluasa "menjilat" atasannya. Mau minta jabatan, sungkan untuk ditolak. Saya sendiri yang netral, cukup sulit memasuki organisasi dalam kampus, karena tidak punya backingan yang kuat. Pernah saya dan teman-teman netral mendaftar menjadi pengurus himpunan, namun semuanya ditolak. 

Padahal salah seorang teman saya mempunyai kecakapan dalam berorganisasi tapi tidak diterima. Sedangkan teman satu lagi anggota salah satu partai yang dirasa kurang mampu, malah masuk. Sayang sekali kalau karena alasan koneksi tetapi mengesampingkan kualitas. 

Saya menantang diri sendiri untuk harus bisa memasuki organisasi kampus dengan keringat sendiri, bukan hasil bagi-bagi jabatan. Kalau dari zaman kuliah saja sudah ada praktik (semi) nepotisme, jangan harap ketika di dunia kerja bisa bertahan sendirian ketika tak ada yang bisa membantu. 

Keempat, menjadi netral bisa membuka mata lebih lebar. Menjadi netral tak ada hal yang perlu dipaksa. Tak usah mendukung calon partaimu ketika kamu merasa mereka tidak cukup cakap, memilih berdasarkan hati nurani dan analisis sendiri. Menjelek-jelekkan lawan ketika kamu sendiri merasa mereka lebih baik, atau berbohong demi kepentingan partai sendiri. Semua itu tidak berlaku bagi netral.

Mereka bebas melihat dunia tanpa dicekoki ideologi partai, bisa melihat sendiri mana yang baik dan buruk, dan tidak sungkan bergaul dengan kalangan manapun. Di dunia ini, kalau tidak ada orang yang netral, tak akan habis perdebatan antara kubu satu dengan yang lainnya.

Tetap saja, keberadaan orang-orang netral ini dianggap hina. Apatis lah, pemalas, penakut, pecundang, dan lain-lain. Saya sama sekali tak tersinggung dengan kata-kata itu. Bukan mengiyakan, tapi masing-masing pribadi punya alasan tersendiri, begitu juga mereka yang memilih mengikuti suatu partai. Tak ada yang salah atau benar selama meyakini dari hati nurani masing-masing. Saya tak pernah menganggap orang-orang partai itu buruk. Yang saya yakin bahwa pilihan menjadi netral itu baik bagi saya. 

Jadi, apakah menurutmu menjadi netral sama dengan apatis ? Ayo beri tanggapan di kolom komentar ya, terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun