Membatasi diri untuk membuka media sosial merupakan salah satu yang bisa kita lakukan. Semakin minimal kita membuka dan mencari tahu, semakin kita bisa mengontrol diri kita.Â
Mengetahui bahwa apa yang terlihat di sosial media tidak sepenuhnya benar dan hanya menampilkan apa yang baik saja juga bisa meningkatkan kesadaran kita untuk dapat lebih bijak dalam bersosial media.
Mengetahui dengan jelas jati diri dan tujuan kita juga menjadi hal kedua yang dapat dilakukan untuk menghidari fenomena ini. Apabila kita sudah tahu dengan jelas apa yang kita mau, maka otomatis juga tidak akan dengan mudah menerima apa yang dikatakan orang lain terhadap diri sendiri. Tanamkan pada diri sendiri bahwa proses setiap orang berbeda-beda dalam mencapai suatu hal.
Hal terakhir yang dapat dilakukan apabila merasa sudah tidak dapat mengatasinya sendiri, jangan ragu untuk meminta bantuan kepada pihak yang lebih profesional dan berpengalaman seperti menghubungi psikolog.
Pada akhirnya, pilihan jatuh di tangan kita. Fenomena FOMO dan FOPO ini sebenarnya tidak sepenuhnya buruk terhadap hidup kita. Dalam beberapa kasus, kedua hal ini dapat membuka pikiran kita terhadap cakrawala yang lebih luas dan juga menjadi bahan evaluasi terhadap diri sendiri. Tetapi apabila sudah berlebihan, juga dapat sumber penyakit yang merugikan diri sendiri.Â
Sangatlah disayangkan apabila kita harus sampai memiliki penyakit yang serius bahkan kasus terparahnya adalah kehilangan nyawa karena hal yang ada di dunia maya.Â
Dibanding memiliki FOMO, marilah putuskan untuk memiliki JOMO (Joy of Missing Out) yaitu kebahagiaan bukan berasal dari apa yang dilakukan dan dikatakan orang lain, melainkan sesungguhnya berasal dari diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H