Yogyakarta, tempat di mana wisata alam dan kuliner menggunggah setiap insan untuk mengunjunginya. Membayangkan saja sudah bisa merasakan indahnya alam ditambah lagi kalau wisata alam dan kuliner dapat dilakukan dalam satu waktu dan satu tempat. Pada kesempatan ini saya akan membagian secuil cerita perjalanan yang saya lakukan sebagai wujud syukur atas apa yang Tuhan kasih dan sebagai ajang “healing” kalo anak zaman sekarang menyebutnya.
Cerita perjalanan ini saya lakukan ke wisata alam Tumpeng Menoreh, kalau dari namanya “Tumpeng Menoreh” pasti orang memikirkan makanan nasi kuning yang dibentuk seperti tumpeng beserta lauk pauk yang mengelilinginya untuk memperingati hari kelahiran. Namun, berbeda dengan Tumpeng Menoreh yang satu ini. Tempat ini merupakan suatu kawasan wisata yang berlokasi di Desa Ngargoretno, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan ketinggian 950 mdpl. Kawasan ini dibuka sebagai tempat wisata sejak Mei tahun 2021 lalu dengan suguhan hamparan pemandangan luas yang dapat dinikmati pengunjung, apalagi terdapat tempat makannya yang bernama Tumpeng Ayu di mana ketika akan mengunjungi perlu untuk menaiki sebuah lift sepanjang 100 meter di lereng bukit.
Perjalanan ini saya mulai dari rumah saya yang berlokasi di Bantul, kurang lebih 50 km untuk sampai ke Tumpeng Menoreh dengan mengendarai sebuah mobil berwarna putih. Sebelum berangkat saya mengecek maps untuk melihat jalur yang tepat untuk saya lewati dan saya memutuskan untuk mengambil jalur Kalibawang, Kulon Progo menuju arah Samigaluh kemudian ke arah Plono dan akhirnya naik ke wilayah kebun teh Nglinggo. Saya berangkat ditemani lagu-lagu One Direction dari albumnya yang berjudul “Four” yang menyatu dengan suasana gerimis manis di luar. Sepanjang perjalanan yang kebanyakan saya lihat adalah pohon rimbun yang berjejer dan sawah yang membentang luas.
Memasuki kawasan Kebun Teh Nglinggo yang mana banyak kebun teh membuat suasana semakin dingin ditambah dengan tidak adanya sinar terik matahari, namun udara segar dapat dirasakan setiap orang yang akan mengunjungi tempat ini. Seluas mata memandang kebun teh dengan suasana asri yang membuat mata ini rasanya segar sekali, seperti namanya “Tumpeng Menoreh” yang identik dengan dataran tinggi, di tempat ini banyak sekali saya menjumpai kebun teh yang sedang digarap oleh warga, terlihat mereka sedang memetiknya. Tak hanya kebun teh, warga sekitar sangat memanfaatkan lahan mereka untuk bercocok tanam maupun usaha lainnya, seperti toko kelontong kecil.
Setelah memasuki kawasan Kebun Teh Nglinggo ini saya sedikit bingung yang tadinya tujuan utama ke Tumpeng Menoreh karena di sana terdapat tidak hanya satu wisata yang konsepnya di bukit sama dengan Tumpeng Menoreh. Namun, pada akhirnya saya tetap melanjutkan niat saya untuk mengunjungi Tumpeng Menoreh Pukul 12.00 siang tepat saya sampai di Tumpeng Menoreh, suasana bertambah dingin karena gerimis sedikit lebih deras yang membuatnya terasa seperti pukul 06.00 pagi. Untuk memasuki kawasan ini saya harus membayar tiket sebesar Rp. 50.000 yang bisa ditukar dengan voucher makanan dan minuman senilai Rp. 25.000 di Restonya dan biaya parkir sebesar Rp. 5.000.
Tempat ini menurut saya lebih cocok untuk dikunjungi oleh anak muda karena untuk mencapai puncaknya harus melewati banyak tangga naik yang terbuat dari kayu, yang mana ketika saya datang hujan sedang mengguyur secara perlahan jadi sangat licin jalannya. Tak sekali dua kali saya hampir terpeleset, di tambah lagi untuk mencapai Tumpeng Ayu harus sangat berhati hati karena ada tangga turunnya.
Di kawasan Tumpeng Menoreh ini disediakan berbagai macam fasilitas yang dapat saya amati, seperti tempat parkir yang cukup luas, walaupun jalan masuknya lumayan curam dan hanya bisa dilalui satu mobil, ada juga mushola, toilet, smoking area, dan warung makan. Menurut saya yang paling penting ketika saya perhatikan yaitu adanya stop kontak yang ada di dbeberapa titik jadi tidak sulit untuk saya yang sampai di tempat dengan baterai handphone yang sedang low.
Sambil menunggu hujan sedikit reda, saya membeli kopi di Kopi Tumpeng yang berada di lereng. Kopi yang panas ditambah suasana yang dingin sangat pas, sambil berbincang-bincang dengan baristanya saya bertanya mengapa di sini sepi padahal ini termasuk weekend yang mana seharusnya banyak orang datang mengunjungi tempat sebagus ini pemandangannya. “Kalau udah dari pagi keliatan mendung biasanya tidak banyak orang datang mbak, hehehe pada takut medannya.”