Dampak hidup bersama tanpa perkawinan yang sah
Setiap perbuatan yang dilakukan dengan tidak sesuai hukum atau
melanggar hukum secara tidak langsung akan menimbulkan dampak bagi pelaku perbuatan tersebut. Dampak yang timbul dari perbuatan tersebut cenderung berupa dampak negatif bukan positif. Salah satu perbuatan yang dilakukan dandapat dikatakan tidak sesuai hukum adalah hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa perkawinan yang sah.Â
Hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa perkawinan yang sah merupakan salah satu bentuk perbuatan yang tidak sesuai hukum UU No. 19 tahun 1999 pasal 10 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Dan UU No.1 Tahun 1974, di mana hidup bersama yang dimaksudkan untuk membentuk sebuah keluarga seharusnya diawali dengan perkawinan yang sah, bukan tanpa perkawinan yang sah.Â
Sehingga apabila hidup bersama tanpa perkawinan yang sah tersebut dilakukan akan membawa dampak terhadap pelaku kehidupan tersebut. Dampak yang mungkin saja muncul akibat dari hidup bersama tanpa perkawinan yang sah ini dapat berupa dampak secara sosial kemasyarakatan dan dampak secara hukum berdasarkan undang-undang. Diantara dampak secara sosial kemasyarakat yang dapat muncul adalah:
a. Kesulitan dalam beraktivitas di lingkungan desa. Mereka yang hidup
bersama tanpa perkawinan yang sah cenderung tertutup atau malu untuk mengikuti kegiatan apapun di lingkungan desa, sehingga mereka mengalami keterasingan atau pengasingan di lingkungan sosial desa.
b. Mendapat sanksi dari masyarakat. Mereka yang hidup bersama tanpa
perkawinan yang sah akan dikucilkan dari masyarakat dan menjadi bahan gosip di lingkungan desa karena dianggap telah menyeleweng dari hukum adat, agama, maupun negara.
c. Hubungan yang tidak harmonis dengan keluarga terutama orang tua.
Hukum Perkawinan di Indonesia
Hukum perkawinan merupakan seperangkat aturan hukum yang mengatur perbuatan hukum serta akibat yang ditimbulkan antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan tujuan untuk hidup bersama sebagai suami istri untuk waktu yang lama menurut ketentuan yang ditetapkan undang-undang.14Â
Di Indonesia, hukum perkawinan yang berlaku secara positif sebagai landasan hukum perkawinan bagi semua warga negara indonesia sampai saat ini merujuk kepada UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Undangundang ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal yang hanya mengatur hal-hal pokok saja tentang dasar, syarat, pencegahan, batalnya perjanjian, putusnya perkawinan dan akibatnya, kedudukan anak, perwalian, ketentuan lain, peralihan, dan ketentuan penutup. Untuk kelancaran pelaksanaan undang-undang ini, dikeluarkanlah PP No. 9 tahun 1975 sebagai aturan pelaksananya.15Â
Selain itu, karena mayoritas penduduk indonesia beragama islam, maka dikeluarkanlah KHI (Kompilasi Hukum Islam) sebagai peraturan tambahan mengenai hukum perkawianan bagi umat islam di Indonesia.
Dalam bahasa indonesia perkawinan berasal dari kata "kawin" yang secara etimologi berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis (melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh). Sedangkan secara terminologis perkawinan berarti melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikat diri antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antar kedua belah pihak, sehingga melahirkan sifat tolong menolong, saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing selaku suami maupun istri.
Pandangan Pelaku dan Masyarakat Setempat Terhadap Hidup Bersama tanpa Perkawinan yang Sah
Hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa perkawinan yang sah bukanlah sebuah perilaku yang baru saja muncul. Perilaku ini telah ada sejak akhir abad ke-20 di negara-negara barat.1 Dan baru mulai meluas dan dikenal di masyarakat Indonesia sejak penelitian seorang mahasiswa yang dilakukan di Yogyakarta sekitar tahun 1980-an.
Dalam temuan kasus perempuan yang hidup bersama laki-laki tanpa perkawinan yang sah di Desa Mendak Kecamatan Delanggu Kabupaten Klaten terungkap bahwa sebenarnya pelaku mengetahui bahwa kehidupan yang mereka jalani tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan hukum. Akan tetapi karena adanya kebutuhan yang harus dipenuhi dan adanya kendala untuk melakukan perkawinan memaksa mereka untuk melakukan kehidupan tersebut.
Serupa dengan pandangan pelaku, masyarakat setempat memandang bahwa hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa perkawinan yang sah adalah perilaku yang tidak baik untuk dilakukan alias perilaku buruk. ketika masyarakat menjumpai perilaku tersebut ada di Desa mereka sebenarnya mereka ingin memberikan teguran agar pelaku segera mengakhiri hubungan tersebut atau meneruskannya dengan perkawinan, akan tetapi keinginan itu diurungkan dengan pertimbangan menjaga hubungan baik bertetangga. Pandangan masyarakat di atas berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Kepala Desa Mendak yang menyatakan bahwa masyarakat mulai menganggap hidup bersama tanpa perkawinan yang sah sebagai hal yang biasa atau lumrah terjadi.
Dampak yang di Timbulkan dari Kasus Hidup Bersama Tanpa Perkawinan yang Sah
Dampak hidup bersama tanpa perkawinan yang sah yang dirasakan oleh pelaku perempuan di Desa Mendak Kecamatan Delanggu Kabupaten klaten adalah terkait dengan akta kelahiran anak mereka, di mana anak mereka tidak bisa mendapatkan akta kelahiran yang memuat nama ayah biologis mereka, melainkan hanya memuat nama ibu saja.
Selain berdampak pada akta kelahiran, berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 anak yang lahir di luar perkawinan tidak mempunyai hak keperdataan berupa hak waris, dan hak nafkah dengan ayah biologisnya. Dalam pasal 42 UU No. 1 tahun 1974 secara tegas menyatakan bahwa seorang anak dikatakan sah apabila dilahirkan dalam perkawinan.Â
Dan apabila seorang anak dilahirkan di luar perkawinan maka ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja Namun ketentuan dalam pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 ini telah direview oleh MK dengan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang isinya menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat memperoleh hak perdata dengan ayah biologisnya sepanjang bisa dibuktikan dengan teknologi.
Adanya putusan MK ini membuka kesempatan bagi anak diluar perkawinan seperti yang terjadi pada kasus ini untuk memperoleh hak keperdataan mereka berupa hak waris dan hak nafkah dari ayah biologisnya.Â
Dengan begitu ia dapat menerima hak pengakuan sebagai anak dari ayah biologisnya, hak waris dan hak nafkah dari ayah biologisnya. Dan unntuk dapat meperoleh hak keperdataan tersebut, pihak yang bersangkutan berkewajiban meneruskan perkaranya kepada pengadilan untuk memperoleh kekuatan hukum dari ayah biologisnya lewat ibu biologisnya.
Kesimpulan
Dari urian di atas setelah peneliti melakukan penelitian dengan mempelajari data-data dan melakukan wawancara serta analisis terhadap permasalahan yang timbul, maka beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:
1. Pelaku hidup bersama tanpa perkawinan yang sah mengetahui bahwa kehidupan yang mereka jalani tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan hukum. Dan masyarakat setempat mengerti bahwa hidup bersama antara laki-laki dan perempuan tanpa perkawinan yang sah adalah perilaku yang tidak baik untuk dilakukan alias perilaku buruk.
2. Dampak yang ditimbulkan dari kasus hidup bersama tanpa perkawinan yang sah adalah mengenai akta kelahiran anak mereka, di mana anak tersebut tidak bisa mendapatkan akta kelahiran yang memuat nama ayah biologisnya. Di samping itu anak juga tidak mempunyai hak waris, hak nafkah dari ayah biologisnya.Â
Namun setelah adanya putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang me-review UU No. 1 tahun pasal 43, anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat memperoleh hak keperdataan merekaberupa hak pengakuan sebagai anak dari ayah biologisnya, hak waris dan hak nafkah dari ayah biologisnya setelah adanya putusan pengadilan yang membuktikan bahwa anak yang bersangkutan memang benar anak biologis dari yang bersangkutan.
3. Pelaku hidup bersama tanpa perkawinan yang sah ingin meresmikan hubungan mereka dengan perkawinan akan tetapi mereka mempunyai kendala atau halangan untuk kawin. Dalam kasus pertama yakni Sarina terkendala dengan statusnya yang masih terikat perkawinan yang sah dengan suaminya, maka untuk dapat kawin lagi langkah awal yang harus dilakukan sarina adalah dengan melakukan perceraian di depan sidang pengadilan. Sedangkan dalam kasus kedua yakni Salima terkendala dengan izin dari pihak keluarga laki-laki.Â
Namun sebenarnya, berdasarkan UU No. 1 tahun 1974 izin tersebut tidak sampai membuat salima terlarang melakukan perkawinan. Mengingat bahwa usia salima dan pasangan lakilakinya yang sudah di atas 21 tahun maka berdasarkan UU No.1 tahun 1974 mereka tidak lagi membutuhkan izin dari wali terutama bagi si laki-laki