Mohon tunggu...
Maura Syelin
Maura Syelin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka membaca novel tapi saya juga suka hukum sebab saya ingin lebih mengenal hukum hukum yang ada di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pentingnya Pencatatan Perkawinan dalam Hukum di Indonesia

21 Februari 2024   18:04 Diperbarui: 21 Februari 2024   18:06 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jdih.malangkab.go.id

SEJARAH PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA

Pencatatan perkawinan di Indonesia telah mengalami perkembangan sepanjang sejarahnya. Sebelum masa kolonial, pencatatan perkawinan dilakukan sesuai dengan tradisi dan kepercayaan masing-masing suku bangsa. Namun, dengan masuknya pengaruh agama, terutama Islam, Kristiani, dan Hindu-Buddha, pencatatan perkawinan menjadi lebih terstandarisasi.

Pada masa kolonial Belanda, sistem pencatatan sipil mulai diperkenalkan di wilayah yang dikuasai Belanda. Hal ini dimaksudkan untuk memantau populasi dan mengatur urusan perpajakan. Pencatatan perkawinan menjadi bagian dari sistem administrasi kolonial.

Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia meneruskan sistem pencatatan sipil yang diperkenalkan Belanda, namun dengan penyesuaian sesuai dengan nilai dan kepercayaan lokal. Pencatatan perkawinan di Indonesia kini diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan turunannya.

Secara umum, sejarah pencatatan perkawinan di Indonesia mencerminkan perubahan sosial, budaya, dan politik yang terjadi dalam masyarakat sepanjang waktu.

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN

Pasal 2 ayat (2) Undang-undang perkawinan menegaskan bahwa setiap perkawinan harus dicatat sesuai peraturan yang berlaku. Pencatatan ini bertujuan untuk memberikan kejelasan mengenai peristiwa perkawinan, baik bagi pihak yang terlibat maupun masyarakat umum. 

Dokumen resmi tersebut tidak hanya menjadi bukti tertulis otentik, tetapi juga mendukung administrasi pemerintahan dan menciptakan kepastian hukum, sejalan dengan aturan negara yang mencatat berbagai aspek kehidupan penduduk seperti kelahiran, perkawinan, kematian, dan lainnya.

Pernikahan yang memenuhi syarat syar'i namun tidak dicatat secara hukum tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Dampaknya signifikan terutama bagi perempuan dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Anak yang lahir di luar perkawinan sah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 memberikan perlindungan perdata dan kepastian hukum terhadap hubungan hukum keperdataan antara anak dan ibunya. 

Perkawinan juga berdampak pada harta suami-istri, menjadi hukum kekayaan keluarga. Perkawinan yang tidak dicatat di kantor catatan sipil berdampak signifikan, termasuk pada kedudukan dan status anak, pewarisan, dampak ekonomi, dan dampak psikologis. Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat dianggap tidak sah secara hukum, dengan konsekuensi hak mewarisnya terbatas hanya pada ibu dan keluarga ibunya. 

Tidak adanya bukti perkawinan juga menghambat peminjaman uang ke bank. Selain itu, ketidakresmian perkawinan dapat menyebabkan diskriminasi administratif dalam pemenuhan hak-hak warga negara

Pentingnya pencatatan resmi perkawinan untuk melindungi hak-hak anak, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, juga terkait dengan hak asasi manusia dan perlindungan anak sesuai konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pencatatan nikah, meskipun administratif, menjadi bukti otentik dan penting untuk menghindari ketidakpastian dan kemudharatan hukum. 

MAKNA FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, RELIGIUS DAN YURIDIS PENCATATAN PERKAWINAN

1. *Makna Filosofis*: Pencatatan perkawinan mencerminkan kontrak sosial antara dua individu yang memutuskan untuk bersatu dalam ikatan yang sah. Filosofisnya, pencatatan ini menunjukkan komitmen untuk saling mendukung, membangun, dan melindungi satu sama lain dalam perjalanan kehidupan bersama. Hal ini juga menyoroti pentingnya kesetiaan, kerja sama, dan pengorbanan sebagai nilai-nilai yang mendasari hubungan manusia.

2. *Makna Sosiologis*: Secara sosial, pencatatan perkawinan adalah bagian dari struktur sosial yang mengatur hubungan antara individu-individu dalam masyarakat. Ini menciptakan kerangka kerja untuk pengakuan legal dan sosial terhadap hubungan tersebut, serta memberikan perlindungan hukum dan hak-hak tertentu kepada pasangan yang menikah. Pencatatan perkawinan juga memengaruhi dinamika keluarga, struktur rumah tangga, dan pembagian peran gender dalam masyarakat.

3. *Makna Religius*: Dalam konteks religius, pencatatan perkawinan adalah pengakuan atas ikatan suci antara dua individu yang diakui oleh agama tertentu. Hal ini sering dilihat sebagai langkah penting dalam menjalankan ajaran agama dan memenuhi tuntutan spiritual. Pencatatan perkawinan dalam konteks religius juga mencerminkan nilai-nilai seperti kesetiaan, pengorbanan, dan komitmen dalam hubungan yang dianggap suci oleh keyakinan agama.

4. *Makna Yuridis*: Dari segi yuridis, pencatatan perkawinan adalah proses formal yang memberikan pengakuan hukum terhadap hubungan antara dua individu. Ini memberikan dasar legal untuk hak dan kewajiban pasangan yang menikah, seperti hak waris, hak atas asuransi, dan tanggung jawab hukum. Pencatatan ini juga memastikan bahwa perkawinan tersebut diakui secara resmi oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan dokumen resmi lainnya, seperti akta kelahiran anak.

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN DAMPAK YANG TERJADI JIKA PERNIKAHAN TIDAK DI CATATKAN DI SOSIOLOGIS, RELIGIOUS, DAN YURIDIS

Pencatatan perkawinan memiliki banyak manfaat, baik dari segi sosiologis, religius, maupun yuridis. Secara sosiologis, pencatatan perkawinan membantu dalam melacak data demografi dan sosial, serta membantu pemerintah dalam perencanaan kebijakan. Secara religius, pencatatan perkawinan dapat memberikan legitimasi secara agama terhadap hubungan tersebut. 

Secara yuridis, pencatatan perkawinan memberikan perlindungan hukum bagi pasangan dalam hal hak-hak dan kewajiban, termasuk hak waris, akses ke layanan kesehatan, dan keamanan hukum dalam hal perceraian atau penentuan hak asuh anak. Tanpa pencatatan perkawinan, pasangan mungkin tidak mendapatkan perlindungan hukum dan hak-hak yang sama, dan hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan dan kerumitan dalam masalah hukum di masa depan.

NAMA KELOMPOK:

1. Yuli Febi Anjarwati (222121055)

2. Muhammad Subhan Zaidil Falah ( 222121057)

3. Maura Syelin Meysa Putri ( 222121058)

4. Nusyaibah 'Ainun Mardhiyah (222121074)

KELAS: HKI 4B

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun