Mohon tunggu...
Maura Syelin
Maura Syelin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya suka membaca novel tapi saya juga suka hukum sebab saya ingin lebih mengenal hukum hukum yang ada di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Analisis Prinsip-prinsip Perkawinan dalam Undang-undang No. 01 Tahun 1974

14 Februari 2024   07:06 Diperbarui: 14 Februari 2024   07:14 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    Asas ini tertuang dalam pasal 39 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa "cerai hanya dapat diperoleh di pengadilan apabila pengadilan yang bersangkutan telah berusaha mendamaikan kedua belah pihak namun gagal". Perceraian tidak dapat dilakukan sendiri, hanya dapat dilakukan melalui pengadilan karena alasan-alasan tertentu. Dalam asas ini menyebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak artinya perceraian lebih sulit karena harus melalui pengadilan dan perceraian dapat diputuskan setelah adanya upaya rujuk oleh hakim. Kemudian perceraian juga harus didasarkan pada alasan yang baik dan dengan peraturan yang berlaku.

    4. ASAS POLIGAMI DIBATASI SECARA KETAT

    Asas ini tertuang dalam Pasal 3 dan 4 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yaitu seorang laki-laki hanya boleh mempunyai satu isteri dalam satu perkawinan dan sebaliknya, namun pengadilan dapat memberikan kewenangan kepada seorang laki-laki untuk mempunyai isteri lebih dari satu. seorang wanita, jika dia menginginkannya. Dalam prinsip ini, seorang laki-laki boleh berpoligami hanya jika isteri atau anaknya memberi izin, dan laki-laki tersebut juga harus bertakwa baik lahir dan batin. Dalam asas ini pernikahan seorang pria hanaya boleh mempunyai satu orang istri namun pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beistri lebih dari satu apabila dikehandaki kedua belah pihak yang tentunya ada alasan  yang kuat tidak semua ijin poligami dikabulkan. Sebagai contoh, jika ada seorang istri sudah tidak bisa melayani suami yang sedang sakit keras maka suami bileh melakukan poligami jika dikehendaki oleh pihak pihak yang bersangkutan.

   5.  ASAS KEMATANGAN CALON MEMPELAI

    Pada dasarnya dapat ditemukan dalam Pasal 7 (1)(2), Pasal 7(1) Undang-undang Perkawinan tahun 1974, yang menyatakan bahwa "perkawinan hanya diperbolehkan jika seorang pria telah mencapai usia 16 tahun". Pasal 7 ayat (2) kemudian menyatakan: "Apabila terlampauinya batas minimum perkawinan, ia dapat meminta kepada pengadilan atau pejabat lain untuk pengecualian baik orang tua laki-laki maupun perempuan." Dengan ketentuan, apabila salah satu atau kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka cukuplah memperoleh surat nikah bagi anak di bawah umur dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang dapat menyatakan kehendaknya. Apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia atau tidak mampu mengutarakan wasiatnya, maka zin tersebut diperoleh oleh wali atau kerabat wali tersebut langsung ke atas, selama mereka masih hidup dan mampu mengutarakan keinginannya.

    6. MEMPERBAIKI DERAJAT WANITA

    Asas ini mengatur tentang adanya perjanjian pranikah dan pembagian harta bersama, serta pengaturan harta benda jika terjadi perceraian. Asas ini mengandung makna adanya janji dalam perkawinan, yang didalamnya terdapat janji untuk menerima harta bersama, yang dapat memperbaiki kedudukan perempuan jika terjadi perceraian. Asas ini mengatur tentang adanya perjanjian kawin dan pembagian harta bersama dan pengaturan tentang harta yang apabila terjadi perceraian, dalam asas ini sangat menjungjung tinggi derajat seorang wanita dan juga perempuan berhak diberikan perlindungan atas kasihsayang yang dilakukan seorang suami atas penghargaan yag dilakukan dirumah secara lahir batin.

    7. ASAS PENCATATAN PERKAWINAN 

    Jelas dari ketentuan Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa setiap perkawinan harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang ada. Artinya setiap selesai perkawinan maka perkawinan itu harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila kedua pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 itu saling berkaitan, maka dapat dianggap bahwa pencatatan perkawinan merupakan bagian penting yang menentukan sahnya perkawinan di luar terpenuhinya syarat-syarat perkawinan, perkawinan menurut setiap hukum, agama dan kepercayaannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun