“Athira, bolehkah aku jujur?”
“ Iya, gimana Budi?” jantungku berdegup tak karuan.
“Aku minta maaf ya, atas kejadian yang kemarin-kemarin. Atas sikapku yang mungkin ngga mengenakkan hatimu, seperti tidak menghargai. Aku sadar Ra, aku sadar banget pasti kamu ngerasa sedih sebab sikapku yang seperti itu. Tapi satu yang kamu harus tau Ra, aku melakukan itu semua karena aku pada dasarnya juga bingung dengan segala kseibukanku dan tekanan-tekanan yang datang padaku.” Ungkapnya dengan nada menyesal. “Aku lupa menjaga hubungan baik dengan kalian, aku menyesal Ra.”
Kami berbicara lama, dan saya menyadari keinginan tulus darinya untuk memperbaiki keadaan. Kami sepakat untuk berkolaborasi dalam merancang program-program baru yang lebih melibatkan semua anggota.
Sejak saat itu, kami mulai mengadakan pertemuan rutin untuk mendiskusikan perkembangan dan harapan setiap anggota. Ketidakpedulian yang pernah mengganggu kami perlahan-lahan memudar. Kami mengerti bahwa organisasi ini bukan hanya tentang kepengurusan, tetapi tentang membangun ikatan yang kuat di antara kami.
Malam itu, saat saya menuliskan kembali catatan pengalaman ini dengan anggapan bahwa diri ini telah terberkati. Waktu yang kita habiskan bersama tidak pernah sia-sia. Meskipun ketidakpedulian itu membuat saya terasingkan disitu terdapat pembelajaran untuk menghargai perjalanan ini dan menjadikannya pelajaran berharga. Jejak waktu akan selalu ada, dan meskipun saya pernah mengalami ketidakpedulian. Namun, kini saya memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang arti persahabatan dan saling menghargai dalam setiap langkah kehidupan.
Beberapa minggu kemudian, organisasi kami mengadakan kegiatan besar seperti festival seni untuk mengumpulkan dana bagi yayasan anak-anak kurang mampu. Kami semua berkolaborasi, saling mengisi kekurangan satu sama lain. Saya bertugas untuk mengatur jadwal dan mengoordinasikan para relawan. Hal ini merupakan momen yang tepat untuk memperlihatkan bagaimana kami telah berubah.
Di balik layar, saya melihat Budi berusaha keras untuk mendukung semua anggota. Dia mendorong kami untuk berpartisipasi aktif dan tidak segan-segan untuk membantu siapa pun yang membutuhkan. Melihat perubahan ini, saya membangkitkan semangat yang dahulu untuk kembali muncul. Saya menyadari bahwa di balik semua rasa sakit dan ketidakpedulian, terdapat potensi besar untuk memperbaiki keadaan.
Saat festival berlangsung, suasana penuh keceriaan dan kebersamaan. Kami semua bekerja sama, tertawa, dan berbagi cerita. Saya menyadari kehangatan persahabatan yang sempat pudar. Di tengah acara, Budi memberikan sambutan. Dia mengungkapkan betapa bangganya dia terhadap kami semua dan bagaimana dia sangat berterima kasih atas kerja keras setiap anggota. Dia menyebutkan dan menghargai kontribusi saya, dan mengingatkan semua orang untuk tidak pernah menganggap remeh peran satu sama lain.
Kata-kata itu menyentuh hati saya. Akhirnya, setelah perjalanan panjang saya dihargai kembali. Hal ini menjadikan pelajaran bahwa setiap pengalaman, baik pahit maupun manis, membentuk siapa diri saya saat ini. Saya belajar untuk tidak hanya melihat kepengurusan sebagai jabatan, tetapi sebagai kesempatan untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan.
Festival itu berhasil dengan sangat baik, melebihi target penggalangan dana kami. Kami merayakan kesuksesan tersebut dengan penuh suka cita. Di tengah kerumunan, saya melihat Budi dan anggota lainnya tersenyum, berbagi cerita dan tawa. Rasa percaya diri saya semakin kuat, dan tidak lagi beranggapan bahwa semua dilalui sendirian dalam perjalanan ini. Ketidakpedulian yang pernah ada menjadi pelajaran berharga yang mendorong kami untuk lebih menghargai satu sama lain.