Pada hari Minggu tanggal 3 Maret pukul 8 malam, siswa-siswi SMA Global Prestasi berangkat menuju ke sebuah desa yang bernama Desa Buntu. Desa tersebut terletak di kawasan Wonosobo, Jawa Tengah. Perjalanan menuju desa memakan waktu kurang lebih 8 jam. Local immersion ini bukan hanya sekedar field trip untuk bersenang-senang.Â
Pastinya akan bersenang-senang, namun inti dari local immersion ini adalah untuk membentuk kebiasaan siswa dalam hidup mandiri. Kami juga diberi tahu bahwa disana, warga-warga Desa Buntu hidup bersama dengan damai dan rukun walaupun adanya perbedaan yang dimiliki setiap warga. Hal tersebut juga mengajarkan kita untuk saling menghargai dan menghormati setiap orang.
Hal di Desa Buntu yang paling menarik perhatian saya yaitu keberagamannya. Saat berbincang-bincang dengan salah satu warga bernama Pak Widi, ia menjelaskan bahwa terdapat 4 agama yang dianut oleh warga Desa Buntu; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik dan Buddha.Â
Awalnya, kami mengira bahwa mungkin pernah ada permasalahan terkait dengan perbedaan kepercayaan. Namun nyatanya, Pak Widi menjelaskan bahwa tidak pernah ada permasalahan. Ia juga menyebutkan bahwa memiliki anggota keluarga di rumah yang memiliki kepercayaan berbeda merupakan hal yang wajar.Â
Keberagaman yang paling unik menurut saya adalah adanya dua masjid yang berbeda sesuai dua aliran dalam agama Islam yaitu NU dan Muhammadiyah. Bahkan, salah satu dari teman saya memberitahu bahwa mushola pun terbagi menjadi dua. Ini sebuah hal yang baru dan unik bagiku.Â
Di sekolah saya, hanya ada satu mushola yang dipakai untuk kedua aliran tanpa dibedakan. Begitu juga masjid-masjid di sekitar rumah saya – umum dan kedua aliran dapat bergabung. Peristiwa tersebut mendukung dan memberikan bukti yang kuat atas Teori Identitas Sosial.Â
Teori Identitas Sosial merupakan sebuah pendekatan sosiologi yang menekankan pentingnya identitas individu dan kelompok dalam membentuk perilaku dan interaksi sosial. Teori ini mengamati bagaimana individu membangun dan mempertahankan identitas mereka, serta bagaimana identitas tersebut memengaruhi hubungan antarindividu dan antarkelompok.
Di kota-kota besar, di mana terdapat banyak kelompok etnis, agama, dan budaya yang berbeda, ada kecenderungan untuk menciptakan identitas kolektif yang lebih inklusif. Masjid umum yang mewakili berbagai aliran keagamaan bisa menjadi simbol kesatuan di tengah keragaman, dan individu cenderung lebih memilih identitas yang mencerminkan keberagaman tersebut. Â
Di desa atau kota-kota kecil, di mana masyarakat cenderung lebih homogen, individu dan kelompok mungkin cenderung memperkuat identitas mereka yang spesifik, termasuk identitas keagamaan. Pembagian masjid berdasarkan aliran keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah dapat mencerminkan kebutuhan akan pemeliharaan identitas dan tradisi lokal yang kental dalam masyarakat yang lebih kecil dan homogen.
Meskipun terdapat perbedaan, kita juga menemukan kesamaan dalam tujuan akhir masjid sebagai pusat kegiatan sosial, budaya, dan keagamaan di masyarakat. Studi ini membantu untuk memahami dinamika dalam masyarakat kita, dan dapat menjadi dasar bagi upaya memperkuat toleransi di berbagai kelompok agama dan budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H