Australia memiliki dua negara bagian Queensland dan New South Wales sebagai pemasok terbesar atas komoditas batu bara yang per tahunnya dapat menghasilkan sejumlah 85 juta ton dan merupakan penghasil devisa terbesar bagi Australia. China merupakan target pasar strategis Australia dengan persentasi tiga kali pasar dunia (Liliandana, 2020). Terkait hubungan bilateral di antara keduanya yang sedang tidak berjalan baik membuat pasar batu bara yang dimiliki Australia terkena imbasnya. Melalui data lapangan diperoleh bahwa terdapat empat pabrik baja China yang menolak ekspor batu bara dari Austalia.
Pabrik yang dimaksud diantaranya termasuk pabrik pemerintah. Terdapat pengakuan dari pabrik baja tersebut bahwa Beijing memberi perintah atas pemberhentian Australia sebagai pemasok batu bara ke China, yang mana bukan hanya batu bara saja melainkan termasuk di dalamnya batu bara termal sebagai bahan yang digunakan untuk pembangkit listrik (Nasution, 2020).
Pemberhentian komoditas batu bara yang saat itu dialihkan China ke negara lain bukan dalam jumlah yang sedikit, melainkan sekitar 850 ribu ton yang memakai 10 kapal kargo Panamax. Simon Birmingham sebagai Menteri Perdagangan Australia mengatakan bahwa telah berkonsultasi dengan industri batu bara dan melakukan diplomasi dengan China terkait dampak dari kebijakan China yang mereka rasakan dan mengaku bahwa bukti yang dimiliki belum cukup untuk menuding hal yang dilakukan Beijing merupakan bentuk diplomasi koersif melainkan masih berpikir dengan pikiran dingin bahwa hal tersebut dilakukan China untuk mendukung industri lokal, namun pembatasan hanya ditargetkan pada batu bara asal Australia saja sehingga terjadi ketidakadilan.
Simon mengatakan ‘‘ praktik tersebut merupakan bentuk diskriminatif yang dilakukan pihak China” hal tersebut juga didukung oleh peningkatan tariff impor yang sebelumnya telah diberlakukan China. Terdapat penjelasan yang agak berbeda dari pemberhentian impor batu bara dari pasar Australia, Februari 2019 dilakukan pembatasan yang mana sebelumnya pemeriksaan dari Bea Cukai hanya dalam kurun waktu 25 hari, setelah pembatasan terdapat perubahan menjadi 40 hari.
Lalu adanya pembatasan jumlah batu bara hanya sebanyak 12 juta ton per tahun. Nilai impor batu bara yang telah terjalin di antara kedua negara yang sejatinya telah mencapai angka US$10.5 miliar sudah jelas terganggu, bahkan pembatasan ini membuat penurunan harga saham di antaranya Saham Coronado Global dan Yancoal yang anjlok hingga 8%, dan Whitehaven Coal yang ikut anjlok di angka 6%. Namun, Australia sendiri berhasil menemukan negara target seperti Korsel, Vietnam dan Jepang sebagai alternatif pembatasan China (Uli/sfr, 2020).
•Melakukan Pembatasan Impor Kapas Australia
China memperoleh sekitar 65% hasil panen kapas Australia, berarti merupakan mitra dagang terbesar untuk ekspor industri kapas Australia. Pembatasan dagang yang yang diberlakukan China juga menyentuh industri kapas, pabrik-pabrik mendapat perintah larangan untuk menerima kapas dari Australia. Industri kapas Australia memiliki nilai sebesar $ 565 juta setiap tahunnya, dengan China sebagai costumer terbesar tentunya menyulitkan pihak negeri Kangguru. Kekhawatiran peningkatan tarif ekspor sebesar 40% juga menghantui proses dagang yang dilakukan Australia. Mitra dagang China juga sulit dimintai penjelasan terkait pembatasan yang sedang terjadi, sehingga informasi sulit diperoleh (VOA, 2020).
•Anti-Dumping terhadap Anggur
Pada November 2020, China memberlakukan tarif sebesar 107,1%-212,1%, sebagai langkah anti-dumping yang ditempuh China. Australia merupakan pemasok kedua terbesar setelah Perancis untuk industri anggur di China, perdagangan anggur di antara keduanya berpegangan pada perjanjian yang telah disepakati pada 2015 dan sepakat untuk meniadakan tarif 14-20% terkait anggur pada 2019. Perilaku China atas anggur Australia dinilai koersif karena tidak sesuai dengan komitmen yang telah mereka bangun sebelunnya melalui WTO. Tuduhan China kepada anggur Australia yang menyebabkan dumping dan kerusakan pasar digunakan atas pembenaran perilaku yang digalakkannya ini. China yang merupakan penyumbang senilai 26% perdaganagn luar negeri Australia tentunya kebijakan yang dibuat memberi dampak terhadap Australia (Liu, 2020).
•Pemberlakuan Tarif Hukuman terhadap Jelai atau Barley
Industri jelai Australia memiliki nilai sekitar US$1 miliar memberlakukan tarif sebesar 80% atas perdagangan jelai yang telah berlangsung sejak lama di antara keduanya. Alasan yang digunakan China sebagai pewajaran kebijakan yang diambilnya adalah bahwa merasa terlalu bergantung pada impor, padahal industri jelai China sendiri hanya mampu memenuhi angka 20% untuk kebutuhan jelai. Perilaku China ini dicurigai karena pergolakan hubungan yang tengah terjadi antar Canberra-Beijing (Indonesia, 2020).