Mohon tunggu...
maura alifia
maura alifia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tertarik pada bidang kepenulisan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema antara Nilai Kemanusiaan dan Tanggung Jawab Hukum dalam Praktik Euthanasia

10 Oktober 2024   11:09 Diperbarui: 10 Oktober 2024   11:12 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Meskipun dokter mungkin beralasan bahwa keputusan ini diambil untuk menghormati hak otonomi pasien, situasi ini tetap dapat dianggap sebagai tindakan pembiaran. Dokter yang mengetahui bahwa kondisi kesehatan pasien berisiko memburuk tanpa perawatan medis dapat dianggap lalai jika mengizinkan pasien pulang tanpa memberikan peringatan yang tegas mengenai konsekuensi medisnya.

Kondisi ini menciptakan dilema bagi tenaga medis, di mana mereka harus menghormati keputusan pasien dan keluarganya, tetapi di sisi lain, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Kesehatan yang menegaskan bahwa setiap orang, termasuk tenaga medis, berkewajiban untuk mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.

Pengaruh Agama dan Nilai-Nilai Pancasila

Sumpah dokter secara universal berlandaskan pada Declaration of Geneva, yang di dalamnya menyatakan: "I will maintain the utmost respect for human life from the time of conception, even under threat, I will not use my medical knowledge contrary to the laws of humanity." Pernyataan ini telah diadopsi dalam Kode Etika Kedokteran Indonesia (KODEKI).

Penegasan dalam sumpah ini memperlihatkan komitmen dokter untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan melindungi kehidupan manusia dalam setiap tahapannya. Sumpah yang telah diucapkan sudah menjadi landasan moral bagi profesi kedokteran. Di Indonesia, KODEKI mengukuhkan komitmen tersebut, menuntut agar setiap dokter selalu mengutamakan prinsip kemanusiaan dalam pengambilan keputusan medis, termasuk dalam situasi sulit atau penuh tekanan.

Euthanasia tidak diizinkan di Indonesia berdasarkan Surat Edaran IDI No. 702/PB/H2/09/2004, yang menekankan bahwa nilai Pancasila, khususnya sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, mengharuskan penghormatan terhadap kehidupan sebagai anugerah Tuhan. Dalam pandangan ini, hanya Tuhan yang memiliki hak untuk menentukan kapan seseorang meninggalkan dunia. Kepercayaan agama memainkan peran besar dalam menolak praktik eutanasia karena dianggap sebagai bentuk campur tangan manusia dalam urusan yang seharusnya menjadi wewenang Tuhan.

Selain itu, mayoritas agama di Indonesia, seperti Islam, Kristen, dan Hindu, menegaskan bahwa kehidupan adalah amanah yang harus dijaga hingga akhir hayat yang telah ditentukan oleh Tuhan. Dalam Islam, misalnya, euthanasia dianggap sebagai tindakan yang melanggar prinsip-prinsip moral dan etika karena berpotensi mengambil peran Tuhan dalam menentukan takdir seseorang. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat Al- Imran ayat 156 yang artinya: "Allah menghidupkan dan mematikan. Dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan." Ajaran Kristen dan Hindu juga menekankan pentingnya menjalani hidup dengan penuh penghormatan terhadap rencana Tuhan, termasuk dalam menghadapi penderitaan.

Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak untuk hidup diakui sebagai hak asasi yang paling mendasar dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Pasal 9 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa, "setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya."

Di Indonesia, negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi kehidupan seluruh warga negaranya, termasuk menjamin akses terhadap pelayanan kesehatan yang memadai serta memberikan perlindungan hukum bagi mereka yang menderita penyakit atau menghadapi penderitaan berat. Ketentuan ini diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya setelah perubahan keempat. Pasal 34 ayat (3) secara tegas menyatakan bahwa "Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak."

Ketentuan diatas mencerminkan sikap Indonesia yang menentang praktik euthanasia, terlepas dari alasan medis atau etis yang mungkin menjadi dasar permintaan individu tersebut.

Implementasi Euthanasia di Negara-Negara Maju

Sejak dulu, euthanasia kerap menjadi perdebatan. Dari tahun 1940-an hingga 1950-an, dukungan terhadap euthanasia menurun, terutama karena banyaknya praktik yang dilakukan tanpa persetujuan individu dan sering kali berkaitan dengan alasan cacat genetik. Seiring waktu, beberapa negara mulai melegalkan euthanasia dengan ketentuan yang ketat untuk memastikan keputusan diambil secara sadar dan sukarela oleh pasien.

Belanda menjadi negara pertama yang melegalkan euthanasia secara resmi pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Pengakhiran Hidup atas Permintaan dan Bunuh Diri. Di negara ini, dokter diizinkan membantu pasien mengakhiri hidup mereka setelah evaluasi medis dan psikologis yang ketat. Persyaratan meliputi permintaan sukarela dari pasien, penderitaan yang tak tertahankan, dan konsultasi dokter independen. Data menunjukkan bahwa jumlah orang yang memilih euthanasia di Belanda meningkat dari 8.720 pada tahun 2022 menjadi 9.068 pada tahun 2023, memperlihatkan penerimaan yang lebih besar terhadap pilihan ini di masyarakat dan memandang euthanasia sebagai bagian dari hak individu untuk menentukan akhir hidup mereka dengan cara yang bermartabat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun