Kondisi global saat ini diperhadapkan dengan bencana non alam yang tidak lain ialah merebaknya Covid-19 di berbagai belahan dunia. Â Semua negara secara defensif melakukan upaya pertahanan dengan metodenya masing-masing. Cina, misalnya, sebagai negara yang pertama kali terdeteksi, menerapkan metode pertahanan seperti tutup dan tahan, masker dan pengecekan. Metode-metode itu kemudian diikuti oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Salah satu metode yang dipilih dan diadaptasi oleh Indonesia adalah karantina wilayah.
Pada awalnya karantina wilayah yang diterapkan di Indonesia ini sekurangnya mengambil metode yang diterapkan di Wuhan, yaitu akses perhubungan ditutup dan warga hanya berada di rumah selama 14 hari. Konsekuensinya, negara harus kuat secara ekonomi untuk menanggung sebagian biaya kebutuhan rakyatnya selama menjalani karantina wilayah. Endingnya, negara harus menambah utang untuk memenuhi kewajiban sebagai bagian integral dari kebijakan kekarantinaan.
Paralel dengan penambahan utang, negara membuat jaring pengaman sosial. Bantuan-bantuan sosial seperti suplai logistik, bantuan langsung tunai, tambahan modal usaha bagi pelaku usaha kecil, dan seterusnya dijalankan walaupun pada akhirnya tidak bisa berkelanjutan. Di tengah kondisi bangsa yang lagi puruk, ada saja orang-orang yang berani menyolong hak orang lain atau pun memperkaya diri sendiri, seperti misalnya korupsi dana bansos, pemotongan dana bansos yang tidak sesuai juknis, mark up harga bantuan logistik, dan lain-lain.
Supremasi hukum terhadap para koruptor pun kadang kala membuat kita mengernyitkan dahi. Ada discount di sini sana. Orang yang telah terbukti sah secara hukum melakukan korupsi pun mendapat korting pidana kurungan. Bahkan ada koruptor yang tanpa malu masih mau mencalonkan diri menjabat sebagai wakil rakyat dan atau kepala daerah. Ini sebuah ironi, bahwa karakter dan keadaban kita tidak lagi bertumbuh dengan baik.
Tulisan ini tidak bertujuan mengulas tentang pandemi ataupun penegakan hukum, tetapi sekadar refleksi akan dampak ketercerabutan dan kehilangan karakter naluriah manusia sebagai makhluk yang beradab.
Saya mengawali bagian pembuka dengan narasi pandemi karena refleksi ini kemudian akan mengarah pada eksplanasi mungkinkah implan chip di masa depan dilakukan paralel dengan pandemi ini? Kalaupun mungkin, apakah itu berkenaan dengan mitologi Kristen?
Dalam mitologi Kristen (referensi: di sini), sebagaimana digambarkan dalam kitab yang saya imani, akan hadir antikris dengan tanda pada dahi atau bagian tangan kanan. Setiap orang yang tidak memiliki tanda dimaksud maka tidak dapat bertransaksi. Kehadiran Antikris di sini bertujuan mengecohkan umat percaya untuk meninggalkan iman kepercayaannya.
Kembali kita melihat kondisi hari ini. Di masa pandemi ini pemerintah diperhadapkan dengan pilihan-pilihan keputusan yang serba sulit. Ibarat simalakama, apapun keputusan dan kebijakan yang diambil tidak akan pernah membuat seluruh rakyat mendukung. Contoh sederhana, misalnya dengan menerapkan dan memperpanjang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) juga dengan gencarnya pelaksanaan vaksin.
Di tengah lajunya kasus covid, pemerintah melakukan semi karantina wilayah dengan harapan agar angka morbiditas penularan covid dapat ditekan. Kendati demikian, dampak langsung yang terjadi ialah masyarakat ekonomi menengah ke bawah harus melawan arus untuk sekedar menyambung nyawa. Usaha-usaha terancam gulung tikar, daya beli masyarakat menurun.Â
Kalaupun semi karantina itu tidak dilakukan, kemungkinan seleksi alam secara besar-besaran akan terjadi oleh karena ketidakmampuan fasilitas layanan kesehatan melayani para penderita. Seiring dengan itu, pelaksanaan vaksin pun gencar dilakukan untuk menekan angka mortalitas (kematian) akibat covid.