Bencana alam (gempa, tsunami, longsor, banjir, tornado) termasuk karhutla adalah tragedi ekosistem yang tidak diharapkan terjadi. Sekali lagi, siapapun tidak mengharapkan kejadian semacam itu terjadi pada dirinya, keluarganya, lingkungannya, wilayahnya dan saudara-saudaranya dalam kemanusiaan.
Ketika peristiwa yang tak diharapkan itu terjadi di luar kendali manusia maka korban (harta dan/atau nyawa) adalah buah pahit yang dipetik dari suatu bencana alam.Â
Mengungsi agar sekadar atau bisa mempertahankan nyawa adalah alasan orang bertahan di tempat pengungsian. Seburuk apapun di tempat pengungsian adalah lebih baik daripada harus bertahan di tempat kejadian.
Di Maluku, tepat pada tanggal 26 September 2019, gempa dengan kekuatan 6,5 SR mengguncang bagian wilayah Maluku. Berdasarkan laporan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), pusat gempa terjadi pada kedalaman 10 Km di 40 Km Laut Timur, Ambon. Ratusan kali gempa susulan pun telah terjadi dengan kekuatan bervariatif antara 2,6 hingga 5,6 SR.
Penelusuran dari berbagai media terpercaya diketahui bahwa ratusan rumah warga dilaporkan rusak: fasilitas umum, fasilitas pendidikan dan rumah ibadah pun dilaporkan mengalami kerusakan.
Tidak hanya itu, gempa dilaporkan mengakibatkan puluhan orang meninggal dunia, ratusan orang mengalami luka-luka, ribuan orang terpaksa berada di tempat pengungsian yang tersebar di 50 titik berbeda.
Pasca gempa utama di Ambon, media pun memberitakan bahwa bantuan kemanusiaan melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana telah dikucurkan sebesar 1M rupiah. Pemerintah pusat pun berjanji akan memberikan bantuan atas kerusakan fasilitas umum dan para korban. Sayangnya, nominal yang cukup fantastis itu tidak dirasakan oleh semua warga yang terdampak bencana yang sedang berada di tempat pengungsian (Kompas memberitakan kondisi ini).
Kendati masih banyak warga yang belum mendapatkan bantuan kemanusiaan, di samping rasa waswas untuk kembali ke rumah, namun pemerintah melalui Menko Polhukam, Wiranto, sudah memberi sinyal bahwa bertambahnya Pengungsi Ambon adalah beban bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Sang Menteri melandasi pernyataannya berdasarkan validasi informasi yang diterima para korban. Ia menjustifikasi masyarakat (pengungsi) sedang termakan informasi hoaks sehingga memilih bertahan di tempat pengungsian.Â
"... diharapkan masyarakat bisa kembali ke tempat tinggal masing-masing untuk mengurangi besaran pengungsi, pengungsi terlalu besar ini sudah menjadi beban pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, ...". ungkap Wiranto.