Mohon tunggu...
Fredy Maunareng
Fredy Maunareng Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Bahasa

Menuduh diri sebagai "Pemerhati Bahasa" dari Nusa Laung, Pulau Wetar-Maluku Barat Daya Korespondensi melalui Email : fredy.maunareng@gmail.com | WA : +6281237994030 |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benarkah Setya Novanto Sakit "Parah" Pasca Kecelakaan?

17 November 2017   09:27 Diperbarui: 17 November 2017   13:25 1885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketua DPR RI, Setya Novanto dalam berbagai media dikabarkan mengalami kecelakaan. Informasi ini pula telah dibenarkan oleh pengacaranya, Fredrich Yunandi. Fredrich dalam berbagai media pun telah menunjukkan foto Novanto yang sedang dirawat di RS Medika Permata Hijau, Jakarta. Informasi ini pula sontak menghebohkan seluruh komponen bangsa, terutama genenrasi 'Anti Korupsi' dan para penanti KTP-el.

Sebelumnya, Novanto pernah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada 17 Juli 2017. Pada saat itulah, kesehatan Novanto mulai menurun. Ia dikabarkan mengalami vertigo dan harus dirawat inap di RS Siloam. Sambil menjalani perawatan di RS, praperadilan pun berjalan. Dikawal oleh "pembela hak tersangka", sidang praperadilan pun berjalan lancar. Pasca ketukan palu hakim Cepi Iskandar, Novanto pulih dan kembali bersama keluarga di rumah. Seperti yang kita ketahui, tanggal 29 September 2017, Cepi memutuskan status tersangka yang ditetapkan KPK kepada Novanto adalah tidak sah.

Tanggal 29 September oleh netizen dianggap sebagai "Hari Kesaktian Novanto". Sejumlah 'meme' satir pun dikeluarkan netizen. "Setya Novanto bangun terlambat, matahari langsung meminta maaf", "Setya Novanto jadi koki, pemesan masak sendiri", "Setya Novanto ikut uji nyali, yang kesurupan setannya". "Setnov beli bubur, tukang bubur bayar sendiri", dan masih banyak lagi.

31 Oktober 2017, KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus yang sama. Setya Novanto disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Panggilan demi panggilan dilayangkan, Novanto tak kunjung mendatangi gedung "Pembersih penyakit akut Indonesia" itu. Novanto lebih memilih tampil di layar televisi daripada lebih dulu mendatangi KPK. Atas perintah hukum, Novanto harus dijemput paksa. Naas, Novanto harus kembali dirawat pasca kecelakaan menabrak tiang listrik.

Dari berita yang saya lansir di Kompas.com, dituliskan bahwa Kepala Biro Pemberitaan DPR Hani Tahapari mengatakan, kondisi Novanto belum sadarkan diri saat ia datang. Menurut Hani, luka yang dialami Novanto berada di kepala bagian kiri. Namun tidak bisa memastikan apakah luka itu berupa memar atau sebagainya, sebab sudah ditutup dengan perban. 

Jika Novanto benar-benar tidak ingin memberikan keterangan/ kesaksian kepada KPK, akibat kecelakaan yang dialaminya akan berbuntut panjang. Vertigo yang merupakan riwayat penyakit akan berkomplikasi dengan amnesia, dimensia bahkan afasia. Amnesia, dimensia dan afasia adalah sejenis penyakit yang mirip yakni berhubungan dengan otak seseorang. Penyebab utama dari ketiganya adalah adanya gangguan pada saraf otak yang dapat berakibat pada hilannyga daya ingat (untuk amnesia), menurunya daya ingat (untuk dimensia) terganggunya kemampuan berbahasa (untuk afasia). Hermisfer kiri otak manusia adalah tempat berdiamnya Broca dan Wernicke sebagai "otak bahasa". Gangguan saraf otak ini bisa terjadi karena salah satu faktor penyebabnya adalah kecelakaan keras yang berakibat benturan kepala. Ketiga ini merupakan penyakit parah yang mungkin saja terjadi.

Jika memang berujung pada amnesia, dimensia atau afasia, maka perlu second opinion terhadap hasil pemeriksaan dokter-dokter di RS tersebut. Setiap orang atau kelompok orang yang menghalangi dilakukan second opinion, perlu diterapkan obstruction of justice. Begitulah kira-kira!

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun