Banyak-sedikitnya peserta undangan akan terlilhat pula dari moralitas orang yang mengundang. Sejauh ini survey tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinan Jokowi-JK terlihat begitu tinggi di atas 60%. Tentu dengan tingkat kepuasaan dan elektabilitas yang ada harus bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dalam segala kegiatan.
Acara pernikahan yang berlangsung, tidak mendiskreditkan kelompok siapapun dan memarginalakan kelompok manapun. Tidak ada "kekacauan politik" oleh penyelenggara, kecuali ada yang berusaha menariknya ke ranah politik.
Kesederhanaan pejabat publik
Soal kesederhanaan, anak TK sampai profesor sekalipun bisa melihat bagaimana kesederhanaan seorang Jokowi. Tetapi apalah gunanya pernyataan demikian. Mari kita lihat fakta dari kegiatan tersebut. Di tengah kekuasaannya, Jokowi memilih (i) tempat kegiatan di tempat pribadi; padahal bisa saja menyewa tempat bermegah untuk melangsungkan pernikahan anak perempuan satu-satunya. (ii) Jokowi tidak mengundang pejabat/kepala negara luar negeri pada momentum kebahagiaan dalam keluarganya. (iii) Jokowi memilih untuk mempertahankan budaya melalui perkawinan putri tunggalnya. (iv) Ketika semua mata memandang ke arahnya, Jokowi kemudian memperkenalkan makanan khas daerah yang dijadikan sebagai makanan penjamu tamu.
Kembali lagi ke kritik FH. Pernyataan FH dengan menggunakan kata "katanya" pada kalimat "dulu katanya..." memperlihatkan sesuatu yang ia sendiri belum paham. Secara semantis, "katanya" atau "kata-dia/ kata orang" bersinonim dengan "konon" yang artinya sesuatu yang disebutkan dalam sebuah predikat kalimat masih belum bisa dipastikan kebenarannya. Masih ada sangsi di sana. Walau ia sendiri menyangsikan semangat dasar sebuah SE, FH telah mengajak elemen bangsa untuk menilai pemimpinnya dengan melemparkan informasi yang ia sendiri belum tahu persis.
Dengan mengikuti semangat diterbitkan SE, terlihat FH dengan sengaja menggali kekonsistenan seorang Jokowi. Oleh karenanya, tidaklah salah jika FH harus menggunakan diksi "katanya" untuk sekedar mempertentangkan konsistensi Jokowi dengan semangat revolusi mental. Sayangnya, FH tidak membandingkan pula dengan poin kedua SE yang berbunyi "Tidak memperlihatkan kemewahan dan/ atau sikap hidup yang berlebihan serta memperhatikan prinsip-prinsip kepatutan dan kepantasan sebagai rasa empati masyarakat". Di sini terlihat apakah Jokowi tidak konsisten atau Fahri yang terlalu berlebihan memahami semangat SE. Semoga ruang publik tidak begitu kacau dengan cara-cara kita berdemokrasi.
FFM: 9/11/2017
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H