Mohon tunggu...
Fredy Maunareng
Fredy Maunareng Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Bahasa

Menuduh diri sebagai "Pemerhati Bahasa" dari Nusa Laung, Pulau Wetar-Maluku Barat Daya Korespondensi melalui Email : fredy.maunareng@gmail.com | WA : +6281237994030 |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gambaran Kehidupan Masyarakat Wetar "Tempo Doeloe" melalui Tradisi Cagulu-cagulu

30 Oktober 2017   08:53 Diperbarui: 31 Oktober 2017   11:55 2803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://trihatmadja-journal.com/2016/02/01/moning-desa-selamat-pagi-di-pulau-wetar/

Latar belakang dan kemajuan suatu suku bangsa tidak hanya dapat ditelusuri melalui sejarah. Penelusuran pun dapat dilakukan melalui media komunikasi yang digunakan, yakni bahasa. Bahasa menggambarkan pola pikir dan pola laku manusia sehingga menjadi pandangan hidup masyarakat pemakainya. Ini merupakan hipotesis Sapir-Whorf yang begitu kuat di pertengahan abad ke-20. Walaupun para pengeritik hipotesis ini bisa menyanggah dengan berbagai argumentasi ilmiah, tetap kembali lagi bahwa ada relativitas antara bahasa dan lingkungan serta interaksi antar pemakai-bahasa-lingkungan. Gambaran kehidupan apa yang dapat ditelusuri dari bahasa tidak lain ialah simbol dan referent (acuan).

Masyarakat Wetar pada umumnya mengenal permainan tebak-tebakan yang digambarkan dengan pertanyaan-pertanyaan bersayap. Dalam bahasa Melayu setempat disebut cagulu-cagulu. Di Manado disebut cigulu-cigulu. Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan teka-teki. Beberapa literatur menyebut teka-teki ini dengan istilah pertanyaan tradisional. Karena ada kata tradisionalnya, maka teka-teki ini termasuk sebagai cerita rakyat/folklor. Folklor adalah pengetahuan kolektif suatu kelompok masyarakat budaya yang diturunkan secara turun-temurun.

Lalu, apa itu teka-teki? Teka-teki ialah pertanyaan metaforis yang memiliki satu atau lebih unsur pelukis yang mengundang jawaban yang harus ditebak/terka. Unsur jawaban memiliki ciri seperti unsur pelukis.

Konon di Wetar, permainan cagulu-cagulu ini biasanya dilakukan pada saat acara-acara peminangan. Tidak sembarang waktu dan tempat cagulu-cagulu ini diujarkan. Pada waktu panen raya atau di malam hari, jika ada dua atau lebih orang melakukan tanya jawab dengan cagulu-cagulu dipercaya bahwa akan ada hama yang masuk ke lumbung makanan dan merusak hasil panen mereka.

Anak Wetar zaman now umumnya sudah tidak mengenal lagi cagulu-cagulu di daerah mereka. Mungkin karena unsur tabu itu pula yang membuat kreativitas menciptakan pertanyaan bersayap itu mulai punah. Padahal jika ditelusuri, cagulu-cagulu yang pernah ada itu pun menggunakan bahasa Melayu setempat. Kendati demikian, karena ada relativitas antara bahasa dan penutur serta lingkungan, maka kita bisa mengenal gambaran kehidupan masyarakat Wetar tempo doloe yang menciptakan cagulu-cagulu. Struktur cagulu-cagulu akan dimulai dengan pertanyaan yang metaforis kemudian diakhiri dengan pertanyaan "apakah itu?". Misalnya, kecil-kecil pakai baju, besar-besar buka baju. Apakah itu? Pertanyaan dilemparkan kepada pendengar yang nantinya bertindak sebagai penjawab.

Dari sejumlah cagulu-cagulu yang dapat diinventarisasi, selanjutnya dapat ditemukan kehidupan masa lalu dari suatu kelompok masyarakat bahasa, yang dalam tulisan ini ialah masyarakat Wetar.

Masyarakat Wetar adalah masyarakat yang hidup dengan berkebun

Pembuat cagulu-cagulu sangat paham dengan apa yang dihadapi sehari-hari. Jika ia sebagai pekebun maka cagulu-cagulunya juga akan menggambarkan tentang kebun dan hutan. Misalnya,

Kecil pake baju ijo deng topi (Kecil berbaju hijau menggunakan topi)
Besar lepas topi pake baju mera (Besar berbaju merah tanpa topi)
Jawabannya "cabe".

Kecil-kecil pake baju (Masih kecil berbaju)
Besar-besar buka baju (Sudah besar lepas baju)
Jawabannya "bamboo/rebong".

Pake baju balapis-lapis (Pakai baju berlapis-lapis)
Satu bantal banya kepala (Satu bantal dipakai bersama)
Jawabannya "buah jagung".

Ketiga contoh cagulu-cagul uatas berkategori hutan. Cabe dan jagung adalah tumbuhan yang diperoleh melalu bercocok tanam. Tanaman bisa terawat dengan aman, biasanya dipagari dengan bambu (bamboe) agar terhindar dari hama babi hutan. Pilihan kata yang dipakai sebagai metafora adalah baju dan topi. Diksi semacam ini dipilih karena melekat dengan aktivitas masyarakat. Baju (mewakili pakaian) sebagai sandang dan kebun sebagai pangan adalah bagian yang sangat melekat dengan kehidupan masyarakat.

Masyarakat Wetar sudah mengenal perhiasan
Perhiasan sering dipakai untuk memperelok diri. Masyarakat Wetar pun sudah mengenal aksesori semacam ini. Misalnya yang terlihat pada cagulu-cagulu berikut.

Cabu lobang tinggal tiang (Melepas lobang, yang tersisa hanyalah tiang)
Jawabannya "cincin".

Konon, perkawinan orang Wetar zaman dulu pada saat peminangan dipasangkan lingkaran rotan sebagai gelang tangan. Ini juga sebuah hiasan yang menandai bahwa seseorang telah dipinang sehingga ia tidak lagi bujang. Generasi zaman now mengadopsi dan adaptasi ke bentuk cincin yang ditaburi logam.

Masyarakat Wetar selain berkebun, hidupnya di pesisir pantai
Kehidupan di pesisir pantai adalah kehidupan yang selalu berteman dengan kebisingan laut. Kehidupan itu digambarkan dengan cagulu-cagulu berikut.

Dari jauh nene-nene gulung tikar hitam (Dari kejauhan nenek menggulung tikar hitam)
Sampai deka buka tikar putih (Setelah dekat dibukalah tikar putih)
Jawabannya "gelombang yang memecah di pesisir pantai'.

Masyarakat Wetar sudah terbiasa dengan kehiduan di pesisir. Jangan heran ketika mereka berbicara selalu ada intonasi suara yang menaik alias sedikit berteriak. Gelombang dimetaforakan sebagai tikar (alat rumah tangga). Ini menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat Wetar tidak bisa dilepas-pisahkan dengan wilayah pesisir.

Masyarakat Wetar juga sudah mengenal alat tangkap ikan. Misalnya pada cagulu-cagulu berikut.

Dudu-dudu sama konde (Duduk seperti konde)
Lari-lari sama gurita (Berlari seperti gurita)
Jawabannya "jala"

Cagulu-cagulu di atas menggambarkan kesamaan bentuk antara konde dengan jala, dan gurita dengan jala saat dilempar. Konde biasanya dipakai di kepala wanita-wanita dewasa. Tentu cegulu-cegulu di atas berorientasi pada penafkahan.

Mencari lauk di pesisir pantai itu adalah jagonya orang Wetar. Dulu, masyarakat ini sudah mengenal jala. Kendati jala bagi masyarakat Wetar hanya bisa dilempar beberapa meter dari pijakan kaki. Mereka tidak pernah melempar jala seperti nelayan-nelayan di daerah lainnya yang melempar jala dari kapal-kapal. Masyarakat Wetar tidak begitu pandai mencari di laut lepas. Kalaupun ada, itu tidaklah umum; atau bisa saja bukan keturunan asli masyarakat Wetar (silang keturunan). Oleh karena itu, andaikata pemerintah memberikan sumbagan perahu nelayan maka apa yang akan terjadi dengan perahu itu? Perahu itu akan dijadikan alat transportasi antar desa dan sebagai pengganti dermaga.

Masyarakat Wetar juga mengenal panji dan kegiatan beternak
Kegiatan bertenak ini tidak selalu umum. Namun dengan gambaran seperti cagulu-cagulu berikut dapat diketahui bahwa pen-cagulu mengamati perilaku ternak peliharaan.

Bom jatuh bendera naik (Bom jatuh, bendera dinaikkan)
Jawabannya "kuda sedang membuang kotoran".

Kotoran hewan yang jatuh dimetaforakan sebagai "bom", sementara ekornya yang menaik dimetaforakan sebagai "bendera". Bom dan bendera dijadikan bahan metafora untuk kotoran dan bagian ekor kuda. Boleh dikata, masyarakat Wetar juga sudah mengenal adanya bom. Jika dikaitkan dengan kemerdekaan Indonesia, rasanya ada kesesuaian. Setelah bom sekutu dilepas ke Hiroshima dan Nagasaki, Indonesia menyatakan diri sebagai negara merdeka.

Masyarakat Wetar memiliki perilaku umum yang mudah gelisah namun tetap berusaha tenang
Masyarakat Wetar masa lalu tidak mengenal adanya kakus/toilet atau WC. Jika akan membuang hajat selalu dilepaskan ke alam bebas yang tidak terlihat oleh orang. Misalnya seperti gambaran cagulu-cagulu berikut.

Lari-lari usir sapa (lari-lari mengejar siapa)
Dudu-dudu tunggu sapa (duduk-duduk menunggu siapa)
Jawabannya "orang membuang hajat".

Seseorang yang sudah sakit perutnya dia akan bergegas dengan cepat menuju ke tempat yang tidak terlihat oleh orang lain. Dulu, masyarakat Wetar belum mengenal adanya toilet sehingga perilaku membuang hajat ke hutan itu identik dengan mengejar seseorang di hutan. Membuang hajat ke hutan bukan sesuatu yang lumrah terjadi pada masyarakat tradisional.

Sakit perut yang dimetaforakan dengan lari-lari usir menggambarkan pula kegelisahan. Umumnya masyarakat pesisir ketika menemukan masalah selalu terlihat gelisah. Sementara dudu-dudu yang dimetaforakan dengan sikap duduk, menggambarkan ketenangan. Cagulu-cagulu ini pula menggambarkan tingginya budaya "malu" oleh masyarakat setempat.

Inilah segelintir fakta mengenai keberadaan orang Wetar yang dapat diamati melalui cagulu-cagulu mereka. Jika ada kesamaan cagulu-cagulu ini dengan daerah lainnya, saya pastikan bisa digeneralisir sepanjang diksi yang dipakai masih sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun