Bagaimana proses verifikasi dan evaluasi jaminan mutu dan keamanannya? Apakah Pemerintah percaya begitu saja dengan data yang disodorkan pihak industri? Diperlukan cek dan ricek dalam hal ini.
Siapa yang menjamin obat yang didaftarkan aman, berkhasiat dan bermutu? Pemberi izin edar? Ataukah industri? Hanya dalam hitungan 1 hari proses perizinan selesai, obat boleh beredar di pasaran, terpenuhikah semua aspek verifikasi dan evaluasi keamanan dan mutunya?
Dengan percepatan proses perizinan, dijaminkah hal ini dapat menekan harga obat yang mungkin saja tidak sebanding dengan biaya pengadaan bahan baku (impor), biaya produksi, biaya uji, biaya distribusi serta biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan oleh industri farmasi?
Jika meyakini hal ini benar, harusnya harga obat dengan proses perizinan yang cepat, jauuuuuh akan lebih murah dibanding obat yang proses izinnya relatif lebih lama.Â
Pengguna obat adalah masyarakat. Demi masyarakatlah Kementerian Kesehatan bermaksud mengambil alih proses perizinan agar diperoleh obat dengan harga terjangkau.
Demikian juga dengan Badan POM, demi masyarakat pula proses perizinan terkesan lama dan ribet, mengingat pengawasan premarket tidak boleh dikesampingkan apalagi dihilangkan.
Pengawasan premarket bertujuan meminimalkan kemungkinan beredarnya obat substandar (kadar obat di bawah standar sehingga tidak berefek) dan obat yang tidak memenuhi syarat.
Tahapan yang dilakukan adalah vetifikasi dan evaluasi secara administrasi, persyaratan teknis, hasil uji laboratorium, hasil pemeriksaan sarana produksi yang disesuaikan dengan peraturan yang berlaku.
Izin edar Badan POM akan diterbitkan setelah semua tahap dilalui dan memberikan suatu jaminan kepastian bahwa obat tersebut terbukti aman, berkhasiat dan bermutu. Pengawasan yang menjadi tupoksi dan wewenang Badan POM tidak hanya pada aspek premarket (sebelum diedarkan) tetapi juga post market, yaitu pengawasan obat beredar.
Pengawasan post market akan seiring sejalan dengan pengawasan pre market, atau dengan kata lain, yang melakukan pengawasan adalah juga yang mengeluarkan izin edar. Jika berbeda, akankah dapat dicarikan solusinya seandainya suatu obat diketahui substandar atau tidak memenuhi syarat?
Dua standar kebijakan yang berbeda akan berpengaruh pada keefektifan pembinaan dan pengawasan. Lempar tanggungjawab mungkin saja terjadi, akan dipertanyakan standar siapa yang kurang sesuai penerapannya, instansi pengawas atau pemberi izin edar?