“Iya Ustadz” ucapku setelah itu langsung bertolak pergi dari hadapan Ustadz Mundzir. Beliau memintaku memanggilkan salah satu santri, Namanya Zahid dia juga temanku.
Aku langsung menuju kamar Zahid satu rayon dengan kamarku, bedanya kamarku berada diujung rayon sedangkan kamar Zahid tepat di tengah rayon.
“Nyari siapa, San?”tanya anak kamar Zahid Ketika melihatku berdiri didepan kamarnya.
“Zahid Ada?” jawabku.
“Sebentar ya ta’ pangil dulu” ia masuk ke kamar memanggil Zahid
“Zahid, Hasan nyariin tu”.
Tak lama Zahid keluar ia tampak rapi dengan takwa dan kitab di dadanya.
“Ada apa san?”.
“Ustadz Mundzir nyari kamu” sampaiku pesan Ustadz Mundzir.
Zahid menganguk “Sekarang?”.
Aku mendecak “Iyalah sekarang, orang yang zuhud”. Ucapku mengartikan namanya.
Zahid tertawa.
Aku Kembali memandang Zahid dari bawah sampai peci dikenakannya “Rapi amat mau kemana emangnya?” tanyaku.
“Idhofi ikut gak?”.
Aku menyenggir “Kamu aja”.
“Kamu mah gitu kalau diajak kebaikan pasti nolak. Tapi, majlasan gak perlu diajak cepat kamu,” ucap Zahid.
Aku tertawa.
“Ya udah, San. Aku berangkat dulu ya”.
Aku mengangguk “Jangan lupa oleh-olehnya,” teriakku.
*****
Pagi hari setelah bubar halagoh subuh tempat yang paling indah dan favoritku menikmati sunrice dari ufuk timur adalah lantai tiga masjid.
Aku melirik Zahid berdiri tak jauh dariku. Laki-laki itu tetap seperti kemarin, sibuk dengan kitabnya bahkan saat menikmati matahari terbit pun ia sempatkan dengan membuka kitab dengan meletakan di pagar Masjid.
“Tutup dulu kitabnya, Hid. Nikmati dulu sunricenya indah loh,” ucapku.
Zahid menoleh kearahku lalu tersenyum “caraku beda dengan caramu, san. Kalau ini dapat dua-duanya; baca kitab sambil lihat sunrice malahan dapat tiga, syukur,” ucapnya lalu memejamkan matanya menghirup udara segar pagi hari belum terkontaminasi polusi udara dalam dalam lalu menghembuskannya pelan-pelan “Al-Hamdulillah” di akhiri dengan kalimat syukur itu.
Aku tersenyum. Aku mencoba apa yang dulakukan temanku itu. Kupejamkan mata kuhirup udara segar dalam-dalam lalu kuhembuskan pelan-pelan. Satu yang kurasakan ketengangan.
Zahid memandangku “Tenang gak?”tanyanya.
Aku mengangguk.
Zahid Kembali tengelam dalam muthola’a kitabnya. Aku menghampiri Zahid berdiri disampingnya.
“Hid. Dari kemarin aku lihat kamu itu mothola’a kitab terus ujian kan masih lama kan?”.
“Belajar gak selamanya mau dekat ujian, San. Sekarang emang gak boleh? Gak jadi masalah kalau muthola’a terus kan”. Jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
“Gini ya, kamu tau aku pengen nanti diakhir sanah kita bisa naik panggung dapat faiz amm, dapat rida’ dari Abuya, San. Itulah aku belajar terus semoga dapat nilai sempurna bisa jadi faiz amm nantinya”.
Aku mengangguk.
“Semua orang juga ingin, Hid. tapi bagiku sih ridho Abuya lebih penting,”.
Zahid mengangguk.
“Gini ya, san. Semua yang ada didunia ini gak bisa didapatkan dengan mudah, banyak rintangan. Tapi kita perlu berusaha mendapatkannya. Kata kamu itu benar ridho abuya lebih penting tapi kalau kita naik panggung itu akan membuat abuya senang pastinya abuya ridho dengan pencapaian kita,”.
Aku membayangkan bisa naik panggung mendapatkan faiz amm dan mendapatkan rida’dari abuya. Aku tertawa. Tinggi sekali angan-anganku.
Aku melirik jam tam tangan sudah menunjukkan setengah tujuh, waktunya siap-siap untuk belajar diniyyah.
“Mau kemana san?” tanya Zahid.
“Siap-siap dars biar dapat faiz amm dan rida’ dari abuya,” jawabku.s
Zahid tertawa.
*****
Setelah solat ashar semua kegiatan belajar semuanya berhenti, waktu istirahat. Hanya ini waktu yang panjang selama 24 jam selama kegiatan di pesantren selain waktu malam, waktu tidur.
Aku menenteng kitab keluar dari masjid. Aku berdiri di salah satu tiang menikmati suasana sore. Mataku tak sengaja melihat dipojok masjid disana Zahid duduk berhadapan dengan Ustadz Mundzir, ia belajar tambahan dengannya. Perhatianku teralih padanya. Zahid tampak memperhatikan pejelasan Ustadz Mundzir. Aku teringat dengan ucapannya pagi tadi, tentang keinginannya menjadi faiz amm pada akhir sanah nanti.
Aku memperhatikan kitab di pelukanku, kalau Zahid bisa berkeinginan mendapatkan faiz amm diakhir sanah apa aku bisa sepertinya? aku juga pasti bisa seperti Zahid tak apalah tidak mendapatkan faiz amm tapi setidaknya menjadi nilai semperna nanti di ujian akhir sanah.
“Hasan” panggil seseorang padaku. Aku tertegun menoleh kearah suara. Rupanya Manan,teman sekamarku.
“Ngapain berdiri disini? Temanin aku majlas yuk,” ajaknya.
Aku diam lagi-lagi aku menoleh kearah Zahid sedang dars idhofi “ Nanti aja, Nan. Aku mau belajar dulu. Persiapan ujian bulanan,” jawabku kemudian pamit pergi dari hadapan laki-laki berkumis tipis itu.
“Oke. Semangat belajarnya kalau bisa nyampe naik panggung” kata Manan.
Aku tersenyum. Sepertinya manan bisa membaca keinginanku.
*****
Suasana malam akhir sanah begitu hidup. Lampu sorot warna-warni mengarah penjuruh arah. Santri dengan pakaian putih plus imamah membilit kepalanya begitu bersemangat dimalam ditunggu-tunggu. Tentu saja malam ini adalah malam akhir di pesantren besok santri dinyatakan libur semester dan pemberian penghargaan kepada santri berprestasi dalam segala bidang ilmu agama dan intinya adalah pemberian penghargaan kepada santri faiz amm yang ditunggu-tunggu seluruh santri.
Aku melihat Zahid begitu hidup sedari tadi senyum dibibirnya terus mengembang.
“Yang sebentar lagi mau naik panggung nih,” ucapku mengodanya.
“Amin. Semoga saja”.
acara ditunggu pun hadir. Suara hadrah yang tadinya menguasai lapangan pun diam semuanya khusu’ menyaksikan laki-laki baru saja naik diatas panggung utama, Ustadz Mahmud, tangan kanan abuya.
“Baik. Di ujung acara sangat di tunggu-tunggu. Saya akan membacakan santri yang berprestasi dengan mendapatkan nilai sempurna pada tahun ini akan jatuh kepada…..”.
Semua santri mendongkakan kepalanya memandang ke arah panggung utama Sebagian yang lain menundukan kepalanya berdoa semoga Ustdaz Mahmud salah menyebut nama terarah ke Namanya.
“Kamu berharap gak kalau kamu gak dapat faiz amm tahun ini, Hid” tanyaku.
“Entalah gak terlalu berharap. Karena yang lebih pintar dan lebih paham ilmu itu banyak tentunya mereka lebih baik mendapatkan faiz amm ketimbang aku yang gak ada apanya degan mereka,” ungkap Zahid.
Aku tersenyum.
“Tugas kita hanya belajar, kalau faiz amm itu hadiah, kata Ustadz Mundzir” lanjutnya.
Ustadz Mahmud turun dari panggung menuju arah Abuya duduk. Abuya membisikkan sesuatu padanya dan menyerahkan kertas pada Ustadz Mahmud. Beliau Kembali ke panggung.
“Baiklah dan kabar baiknya pada malam ini santri yang akan mendapatkan faiz amm tidak satu orang saja, melainkan tiga santri. Ini perintah dari abuya” beliau diam. Suasana kembali menjadi sunyi. Para santri bertanya-tanya didalam hatinya dan Kembali memanjatkan doa lebih dalam dan khusu’.
“santri yang mendapatkan nilai sempurna adalah …… Muhammad.... Ramadhan”.
Suara dari sorakan santri terdengar di sebelah kanan kemudian seseorang berdiri langsung menuju arah panggung utama “Baik santri selanjutnya yang akan mendapatkan nilai sempurna adalah….Hasan..”Ustadz Mahmud mengantung ucapanya.
Santri bernama Hasan terus memanjatkan doa dengan khusu’.“Kayaknya nama kamu, San akan dipanggil nih,” ucap Zahid.
“Ngawur kamu, Hid. Yang Namanya hasan di pondok bukan aku doang banyak juga banyak hasan pinter-pinter,”.
“Hasan… Hadi dari Majalengka”.
“Itu namamu San. Namamu disebut, kamu naik panggung,” ucap Zahid mengoyangkan badanku. Aku tak percaya dengan kenyataan yang ada.
Aku masih diam ditempat. Ustadz Mahmud belum melajutkan pembacaan nama santri berprestasi.
Aku menandang sekelilingku tak ada satu pun santri yang berdiri. Berarti nama yang baru saja disebutkan itu namaku.
Aku berdiri suara sorak dari santri didekatku begitu riuh dan Zahid meneriakiku dengan kencang.
Aku berdiri disamping Muhammad Ramadhan.
“baik. Yang terakhir santri yang mendapatkan nilai terbaik dan sempurna jatuh kepada… Nur… Zahid!!!”.
aku tersenyum. Suara Kembali riuh di tempat duduk Zahid laki-laki itu berdiri. Usahanya selamanya dikabulkan allah.
Zahid berdiri disampingku.
“Akhirnya usahamu terbalaskan, hid,” bisikku.
Laki-laki itu tersenyum “Al-hamdulillah”.
Abuya naik diatas panggung seraya tersenyum kepada kami lalu memasangkan rida’ dibahu kami, santri mendapatkan faiz amm tahun ini. Setelah itu, kami berphoto Bersama abuya, sebagai bentuk kenangan tak akanku lupakan.
Aku tak henti-henti tersenyum ini, aku pernah membayangkannya tapi Allah mengabulkannya saat ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H