Mungkin hari ini saya bagian dari orang yang terlambat untuk mengenal sosok seorang tokoh terkemuka dikancah internasional KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) karena dalam sepanjang perjalanannya (hayatnya) saya tidak pernah bertatapan langsung dengan beliau baik itu di forum atau yang lainnya, namun pada saat ini saya tak ingin mengulangi penyesalan yang kedua kalinya, karena dari beberapa karyanya dan beberapa biografi tentang beliau minimal saya bisa mengenalnya.
Saya bukanlah orang yang punya pengalaman khusus dengan beliau, meski sejak awal saya mendengar namanya saya punya maksud untuk bertemu dengan beliau minimal dalam forum, karena yang aku tahu beliau sering menjadi narasumber diberbagai forum.
Sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur) sengaja saya hadirkan pada kesempatan ini karena saya berpikir ini adalah hari yang tepat untuk merefleksikan kesohoran beliau sebagai sosok yang pluralism. Tepat pada tanggal 16 November 2014 ini bertepatan dengan hari Toleransi Internasional, maka dari itu disini saya mencoba untuk kembali mengeja tentang sosok Gusdur.
Tidak berlebihan kiranya ketika saya bilang hampir semua golongan dan seluruh lapisan masyarakat internasional mengenal sosok Gusdur sebagai sosok yang mampu memberi pencerahan yang selalu memancarkan sinar kasih keimanan dalam setiap diri individu atau kelompok umat manusia, kaitannya dengan itu sosok Gusdur dianugerahi dengan rasa kasih keimanan yang mampu menembus sekat-sekat formalisme dan simbolisme. Dia kasihi dan dia sentuh setiap manusia dengan ketulusan cinta kasihnya yang terpancar dari keimanan dan keyakinannya, hal inilah yang menyebabkan Gusdur mampu hadir dalam hati setiap manusia.
Hal semacam itu tidak hanya tampak dalam kehidupan keseharian Gusdur, melainkan juga dari beberapa karyanya dan karya lain tentang beliau. Sikap berterusterangnya, kecintaannya terhadap sesama, serta kepercayaan yang teguh akan sebuah renungan masa depan yang lebih baik merupakan kombinasi sumber kehidupan yang beliau tekuni.
Sebagai tokoh yang sudah mendunia, Gusdur tetaplah sebagai sosok yang bernaung dibawah simbol kesederhanaan, hal itu tercermin dalam beberapa kali kesempatan yang tidak pernah menampakkan sikap ketokohannya dalam performance dan penampilannya. Disisi lain Gusdur dinilai punya ketajaman bathin serta kepekaan nurani yang tinggi. Hal itulah yang menjadikan beliau sebagai sosok yang tak pernah lepas dari perhatian mata dunia dan akan selalu dikenang sepanjang masa.
Potret sosok Gusdur yang demikian seolah mengajarkan kita akan pentingya kesederhanaan dan pentingnya pengekangan diri untuk tidak hanyut dalam setiap predikat yang disandang dan prestasi yang diraih.
Gusdur telah kembali keHaribaanNYA, kita sudah kehilangan sosok yang humanis, humoris, kritikus sosial serta pejuang perdamaian dunia yang terkonstruk dalam kata “Sang Pluralism”. Namun disini kita masih sepantasnya bersyukur karena beliau sudah banyak meninggalkan torehan karya-karyanya untuk kita, semoga dengan itu kita akan semakin bertambah kaya dengan pengetahuan. Terimakasih maha guru, terimakasih Waliyullah.
Allahummagfirlah
*Refleksi Hari Toleransi Internasional 16 November 2014
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H