Mohon tunggu...
Maulidza Akhir Oemar
Maulidza Akhir Oemar Mohon Tunggu... -

Seorang mahasiswi jurnalistik. A workaholic wannabe. A trully Acehnese.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memori Bagai Ranup

29 April 2014   02:37 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:05 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pantai menawarkan aroma manis yang­­ sempurna untuk ku. Aku pejamkan mata. Hanya ada debur ombak. Ku tarik nafas dalam dalam, samar dari kejauhan terdengar tawa anak-anak yang juga sama seperti ombak, saling berkejar-kejaran, sama-sama saling hadirkan mahligai duniawi yang bergema membuncahi keindahan. Aku tersenyum. Setelah lima tahun, akhirnya aku bisa tiduran di pasir pantai lagi, membiarkan wajahku ditimpa sinar matahari sore yang kilau kemilau lagi. Mata ku membuka menatap langit biru kekuningan. Aku tak peduli dengan bagian punggung kausku yang pastilah telah berlumur pasir.

Derai tawa anak-anak dari kejauhan seketika memundurkan pikiran ku ke belakang.

“Shera mau jadi apa?”, tanya Khel. Teuku Khel, abang ku, waktu itu seusia diriku yang sekarang. Kami sama-sama sedang bermain engklek di pinggir pantai Lhok Nga. Awalnya Khel tak mau ikut bermain. Hey, dia laki-laki, yang sengaja memelihara jambang, rewok tipis, dan selalu memakai parfum pria, bukan seperti ku yang saban pagi, sore, dan malam harus pasrah diolesi minyak kayu putih di sekujur tubuh oleh Mama.  Bagaimana mungkin Khel harus ikut bermain ‘permainan perempuan’ seperti engklek? Namun, apalah daya. Tatapan sorang Cut Shera meluluhkan Teuku Khel. Tatapan : “ikut main atau aku menangis” itu menjadikan Khel ikut bermain. Awalnya patah-patah, malas-malas, jengah. Namun lambat laun lancar bahkan keasikan.

“Shera mau jadi.. apa yaaa”, aku berhenti melompat-lompat sejenak. Bocah enam tahun bergaya layaknya pemikir kelas dunia. “Shera mau jadi wartawan! Kebarin berita gitu bang di teve! Ntar Shera bilang ‘dari Banda Aceh, Cut Nyak Shera Nadya melaporkan. Kembali ke studio’.” Shera tampak puas dengan jawabannya.

Khel tertawa. Dia mendekati adiknya yang berbeda dua belas tahun dengan dirinya. Adik semata wayang yang hanya enam bulan sekali bertemu dengannya. Adik kesayangan.

Gimana mau jadi wartawan coba? Kamu sama cicak saja takut! Huuu malu. Kiban adoenyoe! (Bagaimana sih adik ini!)” Khel mengacak rambut ku yang hitam lurus. Dia senang memanggil ku dengan sebutan adoe. Panggilan sayang berbahasa Aceh yang menurutnya manis bukan main. Tapi menurutku hanya manis saja. Tanpa tambahan ‘bukan main’.

Aku kecil tersenyum malu lalu berjalan ke pondok bambu yang tak jauh dari tempat kami bermain. “Sini bang, duduk disini!” Panggil ku pada Khel. Khel duduk di samping Sher. Keduanya menatap pantai biru muda yang terhampar di hadapan kami. Siang yang panas. Ah, Aceh selalu terik  perik.

“Abang, kenapa sih harus kuliah di Jakarta?” Aku bertanya namun tidak memandang Khel. Tatapanku tetap pada pantai biru muda.

Khel menarik nafas. Aku menangkap bahwa berkali-kali sudah pertanyaan yang persis sama seperti ini ditodong padanya. Namun aku baru kali ini bertanya. Belakangan aku baru tahu, biasanya Khel akan menjawab ‘aku ingin pintar di luar lalu pulang membangun Aceh’, atau ‘biarkanlah aku merantau, karena dengan merantau pikiranku akan terbuka’. Tapi untuk Sher, Khel tidak menjawab seperti itu. Muluk benar rasanya jawaban Khel itu untuk anak seusia Shera. Malahan, nantinya Sher bakal balik bertanya : ‘apa itu merantau?’ atau ‘maksudnya membangun Aceh bagaimana? Emangnya Aceh tidur bang?”. Khel tak mau repot. Jadilah Khel hanya mengulum senyum.

“Sekarang setiap minggu pagi, aku pergi makan Nasi Gurih Pak Rasyid cuma berdua mama. Yah apa boleh buat sih bang. Abang jauh sih.”

“Enak sekali kamu. Abang? Harus mandi air liur setiap minggu pagi. Kepikiran Nasi Gurih Pak Rasyid terus!” Khel berkata dengan tatapan penuh kecemburuan. Tentu tidak benar-benar cemburu. Hanya saja ia tak mau kalah ekspresif dengan aku kecil. Aku terbahak.

Pikiran ku kembali melesap ke dalam tubuh yang masih sedang bermanja dengan pasir pantai. Membiarkan ingatan masa lalu dan perasaan bahagia kini menjadi sepaket cerita hangat yang mungkin sudah setengah rapuh namun tidak akan pernah usang.

Pandanganku yang lurus ke langit biru membawa pikiranku pada Meurah. Teman seperantauan. Yang karena persamaan kampung kami bisa menyatu. Meurah si penyuka warna biru. Meurah yang unik. Mungkin hanya Meurah satu-satunya mahasiswi asal Aceh yang belajar di Jakarta dengan logat berbicara yang kental. Aksen “T” yang ditekan. Aksen “T’ yang diucapkan dengan lidah dan langit-langit mulut yang saling bersentuh. Dan aksen “S” yang diucapkan seperti batita yang belum lancar bicara. Aksen “S” yang keluar dari selipan lidah diantara gigi atas dan gigi bawah. Meurah unik. Meurah yang kata sebagian besar teman di Jakarta : ‘’Meurah yang Aceh banget”. Aku tidak mengerti, apakah julukan ‘Aceh banget’ itu adalah julukan yang bagus atau tidak.

“Ku cari di daftar absen kelas, ku tanyakan satu persatu nama dosen, ku ajak tiap pedagang di kantin untuk kenalan, tapi tidak ada yang namanya Meurah!” begitu suatu hari Meurah mengadu pada ku. Dia tampak tidak menerima bahwa dirinya adalah satu-satunya Meurah di kampus. Saat itu, aku yang sedang sibuk mengetik paper hanya mengeryitkan alis.

“Harusnya kau bangga lah, namamu itu unik. M- E-U-R-A-H.”

“Ya tapi, aku gerah  setelah lihat banyak nama-nama yang bahkan dobel.”

“Emangnya siapa?”

“Fransisca? Audrey? Kevin Aku bahkan temukan sekitar tiga orang yang namanya sama seperti itu dalam satu kelas.” Meurah melengos lalu pergi ke luar kost kami. Mungkin mencari makan malam. Aku yang masih berkutat dengan paper tersenyum dengan nama-nama yang Meurah sebutkan. Manalah mungkin si Aceh banget itu menemukan nama Meurah di kampus kami.

Ketika Meurah kembali ke kost-an, aku bilang padanya, “Lah nama ku Shera? Banyak juga kan? Setauku ada beberapa Shera di jurusan Hubungan Internasional, dan satu Shera di jurusan Ilmu Politik. Itu yang baru aku kenal. Mungkin masih banyak Shera yang lain.”

Sembari meletakkan dua bungkus nasi padang di atas meja makan kami yang apik, Meurah menjawab, “Tidak asi lah! Kamu ada Cut di depannya.”

Aku tertawa terbahak-bahak. Meurah…Meurah.

Cipratan air laut yang membasahi telapak kaki ku seketika kembali menggiring jiwa menyelip ke dalam tubuh. Pikiran –pikiran di dalam kepalaku satu demi satu terganti. Bagai riak awan di langit biru muda itu. Perlahan sekali namun pasti beriring terganti dengan gumpalan awan yang bentuknya berlainan.

Pikiranku kembali melesat keluar. Kali ini berhenti pada memori tentang Levi.

Pahlevi sore itu marah-marah. Kami sedang di perpustakaan kampus. Sebagai mahasiswa baru, kami sedang sibuk meminjam buku, atau sekedar mencetak kartu perpustakaan. Levi marah bukan karena lelah seharian di tempat ini. Perpustaan kampus kami dingin sekali. Tak ada alasan kami untuk tidak betah berlama-lama. Ku duga suhu ruangan sembilan belas derajat.

Levi marah karena kopi.

“Benar-benar Sher!”

“Ya tidak bisa lah disamakan dengan kampung.” Jawab ku. Kami berdua duduk di salah satu bangku panjang di bagian tengah perpustakaan. Kelar sudah mengurus masalah kartu. Santai sejenak sebelum kembali ke rumah tinggal masing-masing.

“Seharusnya ku bawa beberapa bungkus kopi dari Banda Aceh! Ah maksudku sekardus!”  Levi mendengus sebal. Aku hanya bisa terkekeh. “Kemarin, sudah ku tunggu cukup lama Sher! Ku bayangkan kopi hitam panas seperti yang biasa ku seruput di kampung.  Dengan aroma yang selalu berhasil membawaku menjadi seorang Rambo. Ternyata! Yang dihidangkan adalah kopi coklat yang rasanya lebih mirip susu. Pahitnya sedikit saja di ujung lidah. Samar sekali! Hampir tidak terasa malah!”

Beberapa orang mengeryitkan alis mereka pada Levi. Levi buru-buru minta maaf. Aku tambah terkekeh.

“Terus?”

“Ya terus aku kecewa lah! Aku seruput cepat tanpa kenikmatan. Sorenya aku ke mall, rencana awalnya ingin ke toko buku atau yaa sekedar cuci mata. Tapi aku lihat ada warung kopi di dalam mall. Ku coba saja lagi.”

Alis Levi yang tebal dan hitam tampak begitu antusias. Meliuk, mengeryit, kembali datar, dan terus berulang.

“Dan kali ini? Kau puas?” Aku mengulum senyum.

“Tidak! Mereka sajikan kopi dalam gelas-gelas plastik seperti kita membeli cendol. Rasanya tak jauh berbeda dengan warung yang tadi pula! Bahkan terkesan terlalu modern. Mereka tanya namaku ketika awal aku memesan. Lalu ketika pesananku siap disajikan, mereka panggil namaku : ‘Pahlevi!’ dari arah kasir. Begitu.”

Aku tersenyum lebar sekali. Lucu. Ternyata akan begini jadinya, jika si pecandu kopi hitam Aceh- sekali lagi ku tekankan, ko-pi hi-tam A-ceh, ya, harus yang hitam dan dari Aceh,- berjauhan. Kalang kabut. Kesal tak menemukan yang persis sama di Jakarta.  Kurang ini, kurang itu.

“Aku rindu menuang kopi hitam yang masih mengepul ke piring alas gelas, lalu menyeruputnya lamban-lamban.” Levi semakin dramatis.

“Kamu kehilangan candu mu ya. Sudah terima sajalah. Kalau kau sukses, kau buatlah perusahaan ko-pi hi-tam A-ceh di Jakarta.” Aku bergurau. Bingung harus jawab apa.

Levi malah manggut-manggut. “Benar juga.”

Esoknya, sungguh tak terduga. Di siang bolong yang terik (Ini kelangkaan! Daerah Jakarta Selatan jarang sekali panas terik di siang hari. Hujan lebih setia dibandingkan sinar cerah matahari), Levi jalan tegap penuh kemenangan ke arahku. Aku yang baru keluar dari kelas Bahasa Indonesia Jurnalistik di sergapnya dengan wajah berbinar-binar.

“Aku sekarang sudah puas Sher!”

“Kenapa?”

“Bang Popon di Lhokseumawe kirimkan aku sekotak bubuk kopi Aceh!” Matanya seakan berlapisi permata, berkilau-kilau bahagia.

Aku turut senang. Sambil memperbaiki kerudung aku mengucapkan selamat padanya. “Selamat! Hilau sudah ngidam kau kan?”

Saat itu ku pikir, usailah penderitaan Pahlevi. Kekasihnya akan tiba paling lama seminggu lagi lah.

Tapi ternyata seminggu kemudian Pahlevi bagai ditinggal mati kekasih.Pagi-pagi aku bertemu anak laki-laki itu di kampus. Wajahnya berbanding terbalik dengan sepekan yang lalu. Bermuram durja. Berlangkah gontai.

“Kenapa kau?” Aku bertanya khawatir. Takut-takut dia sakit.

“Kopiku.”

Nah!

“Kopimu? Kenapa?”

“Tersita di pesawat. Katanya tak boleh dikirim jauh. Aromanya khas. Menyeruak”

Aku tak mau bertanya panjang lebar. Jadi aku hanya mematung. Berhadapan. Di bawah sinar matahari yang masih malu-malu. Pahlevi juga begitu. Bedanya, dia menunduk. Aku menengadah, memandangnya berbela sungkawa. Tiga menit, empat menit, lima, enam, delapan, sepuluh.  Aku memecah keheningan.

“Yuk ke kelas?”

Lalu, pagi itu, kami berdua berjalan dalam diam menuju kelas fotografi.

Slep! Aku kembali ke tepi pantai. Masih berbaring. Tertawa. Bang Khel, Meurah, dan Levi. Wajah ketiganya seakan tersenyum lewat bentuk-bentuk awan di langit biru. Sedikit beringsut, aku merubah posisi. Duduk. Menatap sejauh mungkin ke ujung pantai. Yang tampak hanya garis biru. Sayang sekali, aku tak menemukan ujungnya. Ya, selalu takberhasil menemukan.

“Kau tahu tidak Sher?”

“Apa?”

“Ayahku sudah pernah menjelajah dunia.” Mata Raisya memancarkan kebanggan yang mendalam. Khitmat, dia menunjuk ke arah pantai. Aku memicingkan mata. Silau karena matahari siang yang gemilang.

“Kau lihat itu? Kau tentu tak tahu kan Sher apa yang ada di balik sana? Ya aku pun tak tahu. Tapi ayah ku pasti tahu. Dia menjelajah sampai Madagskar.”

Aku manggut-manggut. Antara percaya dan tidak.

“Nah, kau mau lihat tidak seberapa tegapnya ayahku?”

Aku mengangguk. Raisya merogoh saku kemeja nya, mengeluarkan dompet,

Nih ayahku.”

Sebuah  foto dari balik celah plastik. Tampak seorang laki-laki mirip Rambo. Dengan rambut versi klimis dan kemeja yang dimasukkan ke dalam celana. Sebetulnya aku sudah tahu sosok ayah Raisya. Sekali sebulan dia tunjukkan pada ku. Entah karena dia lupa sudah berkali-kali menceritakan ini atau memang karena bangga.

“Aku masih hafal wangi laut yang menempel di tangannya yang tiap pagi dan sore aku salami. Sepergi ayah ke laut dan sepulang ayah dari laut.”

Aku sudah tahu apa yang selanjutnya akan Raisya ceritakan. Jujur saja aku sebenarnya tak ingin mendengarnya. Bukan karena bosan. Tentu tidak. Cerita-cerita Raisya selalu menarik. Tapi karena aku sudah tahu akhir ceritanya. Benar kata orang-orang. Mungkin happy ending hanya ada di cerita-cerita para peri dan puteri.

“Kemudian ayah hilang. Kata orang mungkin meninggal. Tapi mungkin dia masih hidup.”

Nah! Betapa tidak adilnya. Kebahagian Raisya dan ayahnya terpotong begitu saja. Bukan bersambung. Terpotong. Kalau bersambung artinya masih akan ada kelanjutan ceritanya. Sedangkan kalau terpotong habis begitu saja ketika cerita sedang asyik-asyiknya. Ayah Raisya hilang saat gerakan yang menuntut kemerdekaan di kampung kami pecah. Mengamuk hebat. Ayahnya yang sebaru pulang dari laut tak juga sampai ke rumah. Mungkin diculik. Mungkin ditembaki. Mungkin… terlalu banyak kemungkinan. Tapi hanya Raisya yang menganggap : mungkin sekarang masih hidup.

Aku mendekap kedua telapak tanggan ke bawah dagu. Aku masih disini, di atas pasir. Tapi pikiran ku sudah membumbung ke balik-balik awan.

Dari masjid yang tak jauh dari pantai terdengar lantunan ayat Al-Quran menjelang azan magrib. Aku berdiri. Sudah saatnya pulang. Sebelum besok harus berkemas dan kembali ke Jakarta. Tugas liputan di Banda Aceh bersama kru statisiun televisi ku sudah selesai.

Sambil berjalan ke arah Grand Vitara maroon Mama (yang sengaja ku pinjam untuk keliling Banda Aceh), aku merogoh saku celana jeansku. Merasakan ada sesuatu yang mengganjal.

Ranup! Aku tertawa. Tadi ku beli di pinggiran Masjid Raya. Ku buang bagian pinangnya yang keras. Ku gigit daunnya.

Kelat dan manis. Mengaduk lidahku. Aku sedang berjalan ke depan, tapi selama di Banda Aceh pikiranku selalu mundur ke belakang. Mengusap masa lalu dari tiap-tiap hal yang ku temui. Ya, tiap hal mendesak-desak menyimpan memori. Sebagian manis, sebagian kelat. Namun keseluruhannya terbungkus rapi. Bagaikan ranup yang sedang ku kunyah ini. Ah! Aceh ku!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun