Mohon tunggu...
Maulidi Dhuha Yaum M
Maulidi Dhuha Yaum M Mohon Tunggu... -

Mahasiswa; ^aflamaker @Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengenang Peristiwa 19 Maret 1967 (Persemar)

26 September 2015   18:07 Diperbarui: 26 September 2015   18:24 1041
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paparan Peristiwa

Pagi itu, tiba-tiba saja, terjadi keributan yang luar biasa di Pondok Modern Darussalam Gontor. Teriakan kata-kata kotor dan provokatif para santri, ditingkahi dengan pukulan terhadap benda apa saja dari santri yang lain menyentakkan ketenangan pondok. Sejumlah santri bergerombol, mirip demonstrasi liar; beringas, emosional, serta anarkis. Aksi corat-coret vandalis, dengan tulisan agitatif berakhlaq rendah muncul di mana-mana. Teriakan dan peringatan kyai pun tak lagi mereka hiraukan. Setan telah begitu merasuki santri yang paham maupun yang tak paham terhadap apa yang terjadi pada saat itu.

Kian siang, kian banyak pesertanya; tak hanya merambah kawasan pondok. Mereka membuat markas di luar pondok, di desa tetangga, sambil menuntun paksa kambing Pak Lurah, kemudian disembelih, untuk pesat pora mereka. Sangat anarkis. Astaghfirullaha al-‘adzim!

Dengan nada wajah merah padam, muka marah, serta perasaan yang hancur, para kyai itu menyaksikan ulah para santrinya. Santri yang beliau didik dengan kasih sayang bagai anak kandung pada fajar itu serta merta membenci, mengejek, mencemooh, serta ingin mengusirnya dari pondok yang didirikannya, dan menggantikannya dengan oknum sepaham dam semadzhab. Itulah Peristiwa Sembilan Belas Maret 1967 (Persemar).

Tuntutan, Nafsu, dan Ambisi

Tuntutan demi tuntutan dilontarkan untuk memojokkkan kyai. Mula-mula hanya mengenai lauk-pauk. Tetapi, setelah soal ini dapat terselesaikan dengan musyawarah, ganti pribadi pengurus dapur dijadikan persoalan. Dari soal pribadi pengurus dapur, pindah ke soal kesejahteraan guru, kemudian ke soal Kepala Administrasi, pindah lagi ke soal Yayasan dan Wakaf; soal pribadi Pimpinan Pondok Modern Gontor (Trimurti); soal pemilihan umum (Politik); pengusiran pemabantu-pembantu Pimpinan Pondok Modern Gontor, dan puncaknya adalah rencana mereka mendongkel “TRIMURTI” dan menggantikan mereka dengan Care Taker yang telah mereka siapkan pula.

Perbuatan khianat terkutuk itu benar-benar menggunakan cara-cara komunis (yang sudah dikubur) dengan semboyannya: “Het doel heilig de middelen” al-ghayah tubarriru al-wasilah (segala cara boleh ditempuh, asal tujuan tercapai), tanpa mengenal halal-haram, baik-buruk, benar-salah, dan dosa.

Para santri pemberontak itu beralasan; “Kan, sudah membayar uang iuran, tetapi kok, hanya mendapat fasilitas sangat minim? Lauk tidak enak, asrama tidak layak.” Ada juga yang mempertanyakan, “Karena telah diwakafkan, berarti, sekarang Pondok ini milik umat, bukan milik Kyai. Bagaimana mungkin, Kyai yang katanya telah mewakafkan pondoknya, masih menempati tanah wakaf untuk pribadi dan keluarganya? Jadi, Kyai pun boleh diturunkan, diganti.”

Begitu di antara hasutan mereka. Namun, mereka tidak tahu bahwa dari 1500 orang santri Gontor ketika itu, tidak lebih dari sepertiganya yang membayar iuran, baik uang sekolah, uang asrama maupun uang makan. Kyai dan pondok pun berkorban, dengan tidak menagih tunggakan iuran kepada santri, dan menomboki biaya makan mereka dari saku pribadi dan keluarganya. Akibatnya, fasilitas menjadi sangat minim. Betapa tidak. Iuran dari 500 orang dipergunakan untuk 1500 orang. Jelas tidak memadai. Apalagi, ketika itu, memang, Indonesia sedang dilanda paceklik yang berkepanjangan. Tetapi, para pemberontak itu seolah dibutakan oleh ambisi terkutuknya: menguasai pondok.

Sebenarnya, dalam penjelasan Piagam Wakaf sudah tertulis jelas apa saja yang diwakafkan:

  1. Yang diserahkan dalam Piagam ini ialah hanya seluruh warisan untuk 3 orang, Trimurti (Pak Sahal, Pak Fananie, Pak Zarkasyi), dan ditambanh dengan pembelian-pembeliannya.
  2. Bahwa pohon kelpa itu, tanaman Pak Sahal dengan tangannya sendiri, dengan syarat, bahwa hasil pohon itu akan diambil oleh Pak Sahal sampai selesai menyekolahkan anak-anaknya.
  3. Rumah Pak Sahal (Pondok Mesir, Sudan, dan PSB), rumah Pak Zarkasyi, Percetakan Trimurti, semua itu tidak termasuk dalam harta benda yang diwakafkan, yang tersebut dalam Piagam Wakaf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun