Mohon tunggu...
Maulidiana Rahmah
Maulidiana Rahmah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kesejahteraan Kelas Menengah di Ujung Tanduk: Dampak Kebijakan Negara yang Perlu Dikritisi

28 Desember 2024   10:53 Diperbarui: 28 Desember 2024   10:53 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI jumlah kelas menengah di Indonesia terus menurun.-Maulana Pamuji Gusti (sumber: Harian Disway)

"Ketika kebijakan dibuat, sering kali berat sebelah. Ironisnya, itu adalah kelas menengah yang menjadi motor ekonomi negara. Mengapa mereka selalu menjadi pihak yang dirugikan?"

Jumlah kelas menengah di Indonesia mengalami penurunan signifikan dari 57,33 juta orang pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta orang pada tahun 2024, dengan persentase penduduk kelas menengah juga menurun dari 21,45% menjadi 17,13%. Berdasarkan kriteria pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp2.040.262--Rp9.909.844, penurunan ini mencerminkan tantangan ekonomi yang dihadapi kelas menengah, termasuk pergeseran lapangan pekerjaan, di mana pekerja sektor formal turun dari 62,76% pada tahun 2019 menjadi 59,36% pada tahun 2024. Di sisi lain, kelompok masyarakat yang menuju kelas menengah (aspiring middle class) mengalami peningkatan jumlah dari 128,85 juta orang pada 2019 menjadi 137,5 juta orang pada 2024, menunjukkan adanya potensi transisi ke kelas menengah jika didukung oleh kebijakan yang tepat 

negara dinilai terlalu fokus terhadap kalangan miskin ekstrim dan memberikan kebijakan intervensi yang menguntungkan kalangan atas namun  kurang perhatian terhadap kelas menengah lewat anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). pemerintah menjadikan kalangan menengah sebagai target kebijakan-kebijakan ekonomi dikarenakan kelas menengah sebagai penggerak ekonomi negara padahal untuk kebutuhan sehari-hari mereka saja pas-pasan serta pemerintah tidak mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi negara, sampai saat ini kebijakan yang dinilai berpihak pada kelas menengah yaitu program kartu Prakerja yang bersifat (on-demand).

Ekonom Chatib Basri mengingatkan akan pentingnya peran kelas menengah dalam perekonomian Indonesia. Menurut data BPS per Maret 2024, sekitar 40% dari kelompok kelas menengah menyumbang 37% terhadap konsumsi nasional, yang mencerminkan betapa besar ketergantungan ekonomi Indonesia pada kelompok ini. "Tanpa perhatian yang cukup, semakin banyak kelas menengah yang berisiko mengalami penurunan kelas," ujarnya.

Salah satu contoh kebijakan yang baru-baru ini merugikan adalah kenaikan pajak menjadi 12% dan penghapusan subsidi yang sering diterapkan oleh pemerintah. Kenaikan pajak, terutama yang berkaitan dengan pajak penghasilan atau pajak barang dan jasa, akan langsung mempengaruhi daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah. Sementara itu, penghapusan subsidi seperti subsidi energi atau pangan akan meningkatkan harga barang dan jasa kebutuhan pokok, yang menambah beban pengeluaran rumah tangga. Bagi kelas menengah yang sudah merasa terjepit antara kebutuhan konsumsi dan tabungan, kebijakan semacam ini memperburuk kondisi keuangan mereka. Tekanan finansial semakin besar, karena mereka harus menanggung biaya hidup yang lebih tinggi, namun tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan yang signifikan. Hal ini dapat mengurangi kualitas hidup kelas menengah dan menambah kesulitan dalam mencapai kesejahteraan ekonomi.

Penurunan daya beli kelas menengah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi isu yang signifikan, dengan dampak yang tidak hanya terasa pada individu, tetapi juga terhadap stabilitas ekonomi nasional namun pemerintah malah membuat kebijakan yang sering menekan kelas menengah. Kelas menengah yang sebelumnya menjadi motor penggerak perekonomian, kini menghadapi kesulitan akibat inflasi, peningkatan harga kebutuhan pokok, serta rendahnya daya serap upah terhadap biaya hidup. Penurunan daya beli ini berkontribusi pada ketimpangan sosial yang semakin terlihat, di mana kesenjangan antara kelompok kaya dan miskin semakin melebar. Kelas menengah yang sebelumnya dapat menikmati standar hidup yang relatif lebih baik kini terpaksa menahan pengeluaran, mengurangi konsumsi, dan bahkan menghadapi ancaman kehilangan pekerjaan atau terpuruk dalam hutang. Ketimpangan sosial ini menciptakan ketidakstabilan dalam masyarakat yang pada gilirannya mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, karena pengurangan konsumsi rumah tangga dari kelas menengah menyebabkan penurunan permintaan barang dan jasa, yang berujung pada pelambatan ekonomi yang lebih luas.

Lemahnya representasi kelas menengah dalam pengambilan keputusan kebijakan menjadi permasalahan yang signifikan dalam sistem politik dan ekonomi saat ini. Kelas menengah, yang seharusnya menjadi salah satu pilar penggerak utama dalam pembangunan negara, sering kali kurang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Keputusan kebijakan yang diambil seringkali lebih berpihak pada kelompok bawah, dengan fokus pada program-program sosial yang menargetkan pengentasan kemiskinan, atau sebaliknya, kepada elite yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya dan kekuasaan. Hal ini menyebabkan kebijakan yang dihasilkan tidak selalu mencerminkan kepentingan atau kebutuhan kelas menengah, yang memiliki potensi besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial. Ketidakseimbangan ini memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi, karena kelas menengah sering kali merasa terabaikan dan tidak mendapatkan cukup perhatian dalam proses pengambilan keputusan.

pembuat kebijakan seharusnya mengembangkan kebijakan berbasis data yang adil dan seimbang merupakan langkah penting dalam menciptakan pemerintahan yang responsif dan inklusif. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan melibatkan kelas menengah dalam proses pengambilan keputusan, mengingat peran mereka yang strategis dalam perekonomian dan kehidupan sosial. Kelas menengah memiliki wawasan yang relevan tentang dinamika pasar, kesejahteraan masyarakat, dan tantangan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan melibatkan mereka, kebijakan yang dihasilkan akan lebih mencerminkan kondisi nyata di lapangan dan dapat menanggapi secara efektif kebutuhan semua lapisan masyarakat. Oleh karena itu, reformasi kebijakan ekonomi yang lebih sensitif terhadap perubahan sosial dan ekonomi, serta berbasis data yang objektif, menjadi hal yang tak terhindarkan. Dengan langkah ini, kita dapat memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya berpihak pada kelompok tertentu, tetapi dapat memberikan manfaat yang seimbang bagi semua golongan, termasuk kelas menengah yang sering kali terabaikan.

"Kelas menengah bukan hanya penonton dalam permainan kebijakan. Mereka adalah pilar ekonomi yang perlu dilindungi. Saatnya pemerintah melihat mereka bukan sebagai tulang punggung perekonomian, tetapi sebagai aset yang harus dijaga". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun