Penolakan terhadap yurisdiksi ICC mencerminkan tantangan besar dalam mewujudkan keadilan global. Ketidakseimbangan kekuasaan antara negara-negara besar dan institusi internasional sering kali menghambat proses hukum terhadap pelanggaran berat. Dalam kasus Netanyahu, sikap negara-negara besar ini dapat menciptakan preseden negatif yang melemahkan upaya penegakan hukum humaniter internasional. Meski demikian, dukungan terhadap ICC tetap datang dari berbagai negara, organisasi internasional, dan masyarakat sipil. Mereka menekankan pentingnya menegakkan prinsip R2P dan akuntabilitas internasional sebagai elemen kunci dalam mencegah impunitas.
Masa depan keadilan global bergantung pada keberhasilan komunitas internasional dalam menegakkan akuntabilitas atas kejahatan serius yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini, peran ICC tidak dapat diabaikan, tetapi membutuhkan dukungan dan komitmen yang lebih kuat dari negara-negara anggota Statuta Roma serta komunitas internasional yang lebih luas. Penegakan hukum tidak hanya tentang menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga tentang membangun kepercayaan bahwa keadilan dapat tercapai tanpa pandang bulu.
Dengan mengacu pada prinsip R2P, komunitas internasional memiliki tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional tidak dibiarkan begitu saja. Oleh karena itu, meskipun tantangan politik dan diplomatik yang dihadapi ICC signifikan, upaya untuk memperkuat mekanisme keadilan internasional harus tetap menjadi prioritas global. Hanya dengan demikian, tujuan akhir dari hukum humaniter internasional---perlindungan terhadap martabat manusia dan pencegahan kejahatan berat---dapat benar-benar terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H