Mohon tunggu...
Maulidiana Rahmah
Maulidiana Rahmah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tanggapan Indonesia Dalam Menghadapi Konflik Israel-Palestina dalam Prinsip Responsibility To Protect (R2P)

5 Desember 2024   20:09 Diperbarui: 5 Desember 2024   20:09 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Bendera Isra'il dan Palestina (Sumber: iStock)

Penulis: Azizah Arsy Khumaiyah, Cindy Ayu Febrianti, Maulidiana Rahmah, M. Haqqiky Anazili, Rusyidina Nur Ahlina, Zalfa Kamila Ulilazmi, Risky Septian

Konflik antara Israel dan Palestina merupakan salah satu konflik paling rumit dan berkepanjangan dalam sejarah modern. Perselisihan ini melibatkan isu-isu politik serta sengketa teritorial, dan memberikan dampak kemanusiaan yang signifikan terhadap masyarakat Palestina. Dalam situasi tragis yang terus berlangsung, muncul pertanyaan mengenai penerapan prinsip Responsibility to Protect (R2P) sebagai cara melindungi rakyat Palestina dari pelanggaran berat hak asasi manusia, seperti kejahatan perang dan tindakan pembersihan etnis. Sebagai negara yang memiliki peran strategis di tingkat internasional dan pendukung setia hak asasi manusia, Indonesia secara konsisten menyuarakan dukungan untuk kemerdekaan Palestina. 

Konflik Israel-palestina 

Konflik antara Palestina dan Israel mengenai penguasaan tanah di Timur Tengah bermula pada akhir abad ke-19, ketika imigran Yahudi mulai membeli tanah di Palestina. Pada masa itu, Palestina masih merupakan bagian dari Kekaisaran Ottoman. Seiring waktu, ketegangan mulai muncul antara komunitas Yahudi dan Arab akibat persaingan klaim atas tanah tersebut. Konflik ini kemudian ditandai oleh kekerasan dan ketegangan politik, dengan kedua belah pihak saling mengklaim hak untuk mengontrol wilayah. Pertikaian ini memiliki dampak signifikan, baik secara regional maupun global, dengan munculnya berbagai konflik bersenjata, intervensi internasional, hingga upaya negosiasi perdamaian.Meskipun banyak usaha telah dilakukan untuk menciptakan perdamaian antara kedua pihak, konflik tersebut tetap belum mencapai solusi dan terus menimbulkan ketidakstabilan di wilayah tersebut hingga saat ini. Konflik yang awalnya berfokus pada perselisihan territorial kini semakin meluas dengan adanya dorongan dari beberapa faktor, termasuk etnis, kebangsaan, dan agama.Banyak negara menunjukkan keprihatinan terhadap tindakan tersebut, termasuk Kementerian Luar Negeri Arab Saudi yang menilai kunjungan Ben-Gvir sebagai provokasi terhadap hukum internasional dan umat Islam global. Tindakan Ben-Gvir dianggap provokatif karena melanggar status quo seputar Tempat Suci di Yerusalem, yang telah menjadi bagian dari wacana sejak warga Israel menetap di West Bank dan Yerusalem Timur pada tahun 1967. Dalam perjanjian tersebut, ditentukan bahwa Pemerintah Israel hanya diperbolehkan berkunjung, sementara hanya umat Islam yang diizinkan untuk beribadah di sana. 

Israel dituduh melakukan sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang terhadap warga Palestina, terutama di Gaza. Human Rights Watch melaporkan bahwa Israel mengabaikan kehidupan sipil, memaksa hampir 1,9 juta orang mengungsi, dan menghancurkan infrastruktur penting, yang menciptakan bencana kemanusiaan. PBB juga menyoroti tindakan hukuman kolektif dan serangan terhadap fasilitas kesehatan sebagai pelanggaran hukum internasional. Selain itu, serangan militer Israel sejak 7 Oktober 2023 telah menyebabkan lebih dari 14.000 kematian di kalangan warga Palestina, termasuk banyak anak-anak. 

Prinsip Responsibility To Protect (R2P) 

Responsibility to Protect (R2P) adalah sebuah norma internasional yang dirumuskan pada tahun 2005 yang menyatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab utama untuk melindungi warganya. "Responsibility to Protect" adalah sebuah prinsip di dalam hubungan internasional yang bertujuan untuk mencegah pemusnahan massal, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Prinsip ini menyatakan bahwa setiap negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi (responsibility to protect) rakyatnya dari empat jenis kejahatan tersebut. Selain itu, komunitas internasional juga mempunyai tanggung jawab untuk membantu negara-negara dalam memenuhi tugasnya tersebut. Jika, dengan berbagai sebab, suatu negara tidak mampu atau tidak memiliki kemauan untuk melindungi rakyatnya, maka menjadi tanggung jawab komunitas internasional untuk melakukan intervensi dalam rangka menyelamatkan masyarakat dari pemusnahan massal dan juga dari berbagai kejahatan kemanusiaan lainnya. 

Dalam Piagam PBB Pasal 1 dan Pasal 2 menegaskan pentingnya menghormati HAM dan mencegah ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Selanjutnya Hukum Humaniter Internasional, di dalam hukum humaniter internasional terdapat Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya mengatur perlindungan terhadap masyarakat sipil dalam situasi konflik bersenjata. Selanjutnya Hukum HAM Internasional, Instrumen-instrumen seperti Deklarasi Universal HAM dan Konvensi Genosida menegaskan tanggung jawab negara dalam melindungi HAM warga negaranya. Disamping itu pula, organisasi Internasional PBB, terutama Dewan Keamanan, memiliki peran sentral dalam implementasi R2P. Peran dari dewan keamanan PBB sendiri berupa upaya untuk mencegah terjadinya situasi yang memicu penerapan R2P, seperti misi pencegahan konflik dan diplomasi preventif. Kemudian Respon cepat terhadap tindakan yang diambil ketika situasi yang memicu penerapan R2P terjadi, seperti pengiriman misi pemantauan, sanksi ekonomi, atau penggunaan kekuatan militer sebagai opsi terakhir. Selanjutnya Rebuilding, yaitu upaya untuk membangun kembali negara dan masyarakat setelah intervensi R2P, seperti misi perdamaian, bantuan kemanusiaan, dan program pembangunan kapasitas. 

Dalam konflik Israel-Paestina dan R2P berkaitan erat dengan hubungan norma dengan hukum humaniter internasional (International Humanitarian Law) atau hukum perang. Penerapan R2P dalam kasus Israel-Palestina menghadapi banyak tantangan. Meskipun situasi di Gaza dan wilayah pendudukan lainnya menunjukkan kebutuhan mendesak untuk perlindungan warga sipil, tindakan Internasional seringkali terhambat oleh politik kekuasaan dan kepentingan negara-negara besar, terutama Amerika Serikat yang cenderung mendukung Israel. Dalam beberapa tahun terakhir, situasi kemanusiaan di Gaza semakin memburuk, dengan serangan militer yang mengakibatkan ribuan kematian dan luka-luka di kalangan warga sipil. Meskipun R2P memberikan kerangka kerja untuk intervensi, implementasinya dalam konteks ini sangat kompleks. Upaya hukum, seperti pengajuan kasus terhadap Israel di Mahkamah Internasional, menunjukkan potensi penggunaan R2P sebagai alat untuk menuntut akuntabilitas, meskipun hasilnya sering kali tidak memuaskan. Keterbatasan dalam konsensus internasional dan veto dari anggota tetap Dewan Keamanan PBB menjadi penghalang utama dalam menerapkan R2P secara efektif. Selain itu, narasi yang mengedepankan hak untuk membela diri oleh Israel sering kali mengaburkan kebutuhan untuk melindungi warga sipil. 

Tanggapan Negara Indonesia Terhadap Konflik 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun