Mohon tunggu...
Maulidar Yusuf A
Maulidar Yusuf A Mohon Tunggu... -

Maulidar Yusuf A Hamid, Mahasiswi TEN 2009 IAIN Ar-Raniry Aceh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tanyakan Pada Tuhan Apakah Aku Masih Suci

9 Mei 2012   14:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:30 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Dek, ini berapa harganya?”

“Lima ribu aja bu”

“Duh mahalnya, tiga ribu aja ya,, kan kamu banyak duit, tuh masukannya tiap malam lancer dari pejabat-pejabat kali ya, hehehe, atau mangkal dimana biasanya nih, hehehe..” celoteh seorang pembeli sambil menyindir halus.

Setiap hari aku semakin heran dengan banyak sekali orang yang menyindirku, semakin aku tak menghiraukan, sayup-sayup aku tahu mereka semakin sering membicarakan tentanggku. Bercerita tentang kakak si Ratna yang sering pergi sore pulang malam atau pagi. Namum mereka lupa menyisipkan rasa prihatin terhadap beras dirumahku yang habis, tunggakan listrik yang hampir dua bulan lebih, dan yang terpenting adalah biaya pedidikan Ratna setiap bulan.

Padahal beberapa pemuda disini banyak sekali yang tak memiliki pekerjaan, sering berurusan dengan polisi, dan mereka juga sering pulang malam, pagi, bahkan tak pulang berhari-hari entah kemana. Lantas mengapa hanya aku, padahal aku berkerja, mencari nafkah untuk hidup kami, tak pernah perkerjaanku ini mengusik mereka, tapi mengapa mereka sering membicarakan aku, tanpa izin dariku menambah-nambah pernak-pernik negative tentangku.

Aku pernah mendengar disuatu surau bahwa dosa para pengumpat lebih besar dari pada penzina, karna pengumpat menyangkut karakter diri orang lain dan pembicaraannya bisa menyebar hingga pelosok pelosok kampung, dan tanpa fakta itu fitnah, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.

Mereka telah mengahancurkan bukan hanya karakterku, namun juga adikku, membuat adikku malu untuk sekedar menganggakat wajah dihadapan mereka, apalagi bergaul. Semua hanya karena ku sering keluar sore, pulang malam atau pagi. Hanya karena aku sering bergulat dengan pekerjaanku hingga pagi datang.

Aku memang bekerja ditempat kotor, tempat ini memang tak bersih. Sampah-sampah ini memang sangat menjijikkan. Tapi ini halal!. Menjadi pengais sampah tak pernah dilarang agama. Aku tak mungkin bekerja dipagi hari. Karena jatahku malam, sampah-sampah ini harus diolah pada malam hari dan pagi sampai siang aku harus berjualan.
Meskipun tempat aku bekerja didominasi oleh laki-laki, tapi salahkah aku? Aku juga punya kaki dan tangan yang sama jumlahnya. Tak masalah bagiku, asalkan halal.

Terlalu banyak didunia ini manusia yang merasa lebih tahu bagaimana seharusnya orang lain hidup, namun sayang tak jarang ia lupa bagaimana cara seharunya menjalani hidupnya sendiri. Tuhan menjadi saksi, aku masih suci.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun