Makasaar-Seorang balita berkebutuhan khusus di Kota Makassar diduga menjadi korban kekerasan di yayasan sekolahnya. Kasus ini telah naik ke tahap penyidikan setelah pemeriksaan saksi ahli. Pihak berwenang, termasuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak, tengah menentukan tersangka. Proses penyelidikan memakan waktu lama karena kendala, termasuk kesulitan mendapatkan keterangan dari korban yang memiliki disabilitas ADHD. Ibunya melaporkan dugaan kekerasan setelah melihat anaknya mengalami memar dan perlakuan fisik yang diduga dilakukan oleh oknum terapis yayasan.
Dalam kasus ini, korban adalah seorang anak disabilitas yang diduga menjadi korban kekerasan oleh Oknum terapis di yayasan tempat anak tersebut bersekolah. Anak disabilitas pada umumnya membutuhkan perhatian dan dukungan yang lebih dalam perkembangan psikososialnya. Namun, kekerasan yang dialami oleh korban dapat mempengaruhi perkembangan psikososialnya di masa depan.
Menurut teori Psikososial, anak pada usia prasekolah (2-6 tahun) mengalami krisis psikososial tahap inisiatif versus rasa bersalah. Pada tahap ini, anak belajar untuk mengembangkan inisiatif dan mandiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Namun, jika anak mengalami kegagalan atau hambatan dalam mengembangkan inisiatifnya, ia dapat merasa bersalah dan kurang percaya diri.
Dalam kasus ini, kekerasan yang dialami oleh korban dapat mempengaruhi perkembangan inisiatif dan mandiri anak. Korban mungkin merasa takut dan tidak percaya diri dalam melakukan aktivitas sehari-hari, serta merasa bersalah karena menjadi korban kekerasan.
Kasus-kasus kekerasan terhadap anak, terutama yang melibatkan anak-anak berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas, menyoroti kerentanan demografi tertentu dalam lembaga-lembaga pendidikan. Insiden baru-baru ini di Makassar, Sulawesi Selatan, di mana seorang anak berkebutuhan khusus berusia 4 tahun, yang diidentifikasi sebagai GF, diduga mengalami kekerasan di dalam yayasan sekolah, mengungkap kenyataan yang menyedihkan. Analisis ini menggali aspek psikososial dari kasus tersebut, dengan mempertimbangkan dimensi emosional, kognitif, dan sosial yang terlibat.
Dampak Psikososial pada Korban:
Dugaan dampak pelecehan terhadap GF, yang sudah menghadapi tantangan terkait ADHD, merupakan aspek penting dari insiden ini. Cedera fisik yang dilaporkan, termasuk memar akibat gigitan dan cubitan, tidak hanya bersifat fisik namun mempunyai dampak psikososial yang mendalam. Anak-anak penyandang disabilitas sering kali mengalami kesulitan dalam berkomunikasi, dan pelecehan dapat memperburuk kesulitan kognitif yang sudah ada. Keterlambatan pelaporan oleh orang tua GF, FM, menyoroti kompleksitas dalam mengenali tanda-tanda kekerasan pada anak berkebutuhan khusus.
Dampak Emosional pada Keluarga:
FM, ibu GF, melaporkan kejadian tersebut setelah menemukan tanda-tanda pelecehan yang terlihat. Kerugian emosional yang dialami keluarga ini sangat terasa, karena mereka tidak hanya bergulat dengan trauma yang dialami GF tetapi juga penderitaan karena mengetahui penganiayaan tersebut. Keterbukaan yang tertunda dan pelaporan selanjutnya memberikan contoh hambatan emosional yang dihadapi oleh orang tua dalam menangani anak berkebutuhan khusus.
Peran dan Tanggung Jawab Kelembagaan:
Yayasan tersebut, yang konon bertanggung jawab atas pelecehan tersebut, kini berada di bawah pengawasan ketat atas perannya dalam melindungi anak-anak. Secara psikososial, institusi memainkan peran penting dalam menyediakan lingkungan yang aman dan mendukung. Pelanggaran kepercayaan dalam kasus ini mempunyai implikasi sosial yang lebih luas, mengikis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga yang bertugas merawat dan mendidik anak-anak berkebutuhan khusus.