Sebuah kasus yang mengguncang banyak orang terjadi di RS Murni Teguh, yang terletak di kota Medan, Sumatera Utara. Kasus ini menyorot kegagalan sistem kesehatan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas dan aman bagi pasien. Seorang pasien bernama Evarida Simamora (48), wanita asal Tapanuli Tengah (Tapteng), yang seharusnya menjalani operasi pada kaki kiri yang didiagnosa sakit, namun malah kaki kanannya yang dioperasi oleh dokter. Akibatnya, dia mengalami kesulitan berjalan hingga saat ini.Â
Kasus ini mencuat ke permukaan setelah keluarga pasien melakukan pengaduan terhadap rumah sakit tersebut. Reynold Simamora, kakak kandung Evarida, menjelaskan bahwa awalnya Evarida mengalami luka pada kaki kiri setelah mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda di Sibolga. Namun, selang dua hari kondisinya semakin parah karena terjatuh di kamar mandi saat dirawat. Evarida yang bekerja sebagai bidan di puskesmas Tapanuli Tengah kemudian dibawa ke RS Murni Teguh untuk pengobatan.Â
Meskipun awalnya direkomendasikan menjalani terapi, akhirnya Evarida dioperasi pada tanggal 23 November 2022, yang dimana pada operasi tersebut terjadi kesalahan operasi. Setelah terjadi kesalahan operasi tersebut, pihak RS Murni Teguh telah meminta maaf dan mengaku salah hingga menawarkan perdamaian kepada keluarga Eva. Akan tetapi keluarga evarida tetap memilih untuk melaporkan ke Polda Sumut karena belum ada pertanggungjawaban dari pihak RS Murni Teguh dengan nomor laporan:
STTLP/B/2215/XII/2022/SPKT/Polda Sumut pada 13 Desember 2022.
Kasus ini sangat memprihatinkan dan menunjukkan kegagalan sistem yang serius dalam pengelolaan pelayanan kesehatan di Indonesia. Pasien yang mengalami kesalahan operasi tentunya menghadapi penderitaan fisik dan emosional yang sangat besar, sementara keluarga pasien juga mengalami tekanan dan kekhawatiran yang berat. Pihak rumah sakit juga harus memberikan klarifikasi secara transparan kepada publik terkait kronologi kejadian dan langkah-langkah yang akan diambil untuk memperbaiki sistem agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
Selain itu, perlindungan hukum dan hak-hak pasien harus diutamakan dalam penanganan kasus ini. Pasien dan keluarganya harus mendapatkan akses yang mudah dan adil dalam mencari keadilan, termasuk hak untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian yang telah mereka alami. Kasus seperti ini menunjukkan pentingnya menerapkan standar operasional etik yang ketat dalam setiap aspek pelayanan kesehatan untuk melindungi kepentingan pasien dan memastikan kualitas layanan yang optimal.
Seorang dokter merupakan profesional medis yang memiliki kemampuan dan lisensi untuk mendiagnosis, merawat, serta mengelola penyakit dan cedera pada pasien. Maka dari itu sebelum melaksanakan operasi biasanya dokter memberikan informasi kepada pasien seperti prosedur operasi yang akan dilakukan, risiko yang terkait, langkah-langkah persiapan sebelum operasi. Keluarga merasa tidak ada yang aneh dengan hal itu, akhirnya menyetujui dan mempercayakan semua kepada tenaga medis. Tetapi kepercayaan itu hancur ketika pasien melakukan operasi pada kaki yang tidak sakit.Â
Malapraktik yang terjadi diduga dengan diperkuat adanya Pasal 52 Undang-undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, menyebutkan hak pasien yaitu menjelaskan secara lengkap tentang tindakan medis, meminta pendapat dokter, mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis. Keluarga pasien sangat terkejut dengan hasilnya serta pasien  merasa sangat tidak adil karena kehilangan perlindungan dasar pasien dengan berkecil hati pasien selalu meminta pertanggungjawaban dari pihak rumah sakit akan tetapi tidak ada pergerakan sama sekali.
Sanksi yang dapat diberikan meliputi :Â
Sanksi Pidana:
- Â Pasal 359 KUHP: Dokter yang melakukan operasi pada kaki kanan pasien, meskipun diagnosanya adalah pada kaki kiri, dapat dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun karena kelalaian yang mengakibatkan luka berat.
Pasal 360 KUHP: Jika kelalaian dokter tersebut mengakibatkan kematian pasien, maka dokter dapat dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun.
Sanksi Perdata
Ganti rugi: Pasien dapat menuntut ganti rugi kepada dokter dan/atau rumah sakit atas biaya pengobatan, kehilangan penghasilan, dan penderitaan yang dialami.
Tuntutan Malapraktik: Pasien dapat mengajukan tuntutan malapraktik kepada Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) di wilayahnya. MKEK dapat memberikan sanksi disiplin kepada dokter, seperti teguran tertulis, skorsing, hingga pencabutan izin praktik.
Sanksi Administratif:
Pencabutan izin praktik: Kementerian Kesehatan dapat mencabut izin praktik dokter yang terbukti melakukan malapraktik.
Tindakan disiplin: Rumah sakit dapat memberikan tindakan disiplin kepada dokter yang melakukan malapraktik, seperti teguran tertulis, skorsing, hingga pemecatan.
Penjatuhan sanksi terhadap dokter dan/atau rumah sakit harus dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Pasien yang merasa dirugikan akibat malapraktik medis dapat meminta nasihat hukum kepada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) atau lembaga profesi medis. Kode Etik Kedokteran Indonesia (KEKI) mengatur bahwa dokter harus bertindak dengan penuh tanggung jawab dan mengutamakan kepentingan pasien. Dokter yang melakukan malapraktik dapat dikenai sanksi etik oleh MKEK, seperti teguran tertulis, skorsing, hingga pencabutan izin praktik.
Kasus malapraktik medis yang menimpa Evarida Simamora di RS Murni Teguh, Medan, Sumatera Utara, adalah sebuah cerminan dari kegagalan sistem dalam memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan aman bagi pasien. Kejadian ini mengekspos kerentanan dalam sistem yang seharusnya menjaga kepentingan dan keamanan pasien, namun malah berujung pada penderitaan yang tidak terbayangkan bagi Evarida dan keluarganya. Kasus seperti ini menunjukkan perlunya perbaikan mendalam dalam pengelolaan pelayanan kesehatan di Indonesia, dengan memastikan bahwa setiap langkah yang diambil selalu memprioritaskan kepentingan pasien.
Dengan adanya kasus ini memperlihatkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dari pihak rumah sakit terkait kejadian yang terjadi. Penjelasan secara jelas dan komprehensif terhadap kronologi peristiwa serta langkah-langkah perbaikan yang akan diambil menjadi hal yang sangat penting. Selain itu, perlindungan hukum dan hak-hak pasien harus diutamakan, termasuk hak untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian yang telah mereka alami.
Di sisi lain, penegakan hukum terhadap pelanggaran etika medis harus dilakukan dengan tegas. Sanksi hukum, baik pidana maupun perdata, harus diberlakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku, dan sanksi administratif terhadap dokter atau rumah sakit yang terbukti melakukan malapraktik juga harus dilakukan agar menjadi efektif terhadap pelanggaran serupa di masa depan. Pentingnya menerapkan standar operasional etik yang ketat dalam setiap aspek pelayanan kesehatan juga harus ditekankan untuk melindungi kepentingan pasien dan memastikan kualitas layanan yang optimal. Kasus ini dapat dijadikan pelajaran berharga dalam sistem kesehatan untuk selalu menjaga integritas, transparansi, dan kualitas pelayanan demi kepentingan kesejahteraan masyarakat.
TIM PENULIS
Kelompok 8 Gizi 2022 D
Fatin Nur Azizah     (22051334123)
Sheryn Savia Marry   (22051334128)
Maulidah Tsalsabila   (22051334147)
Davena Zulkurnia    (22051334156)
REFERENSI :
Detikcom Media. (2023, january 6). Sederet Fakta Pasien Salah Operasi di RS Murni Teguh. Retrieved March 22, 2024, from Detik.com website: https://www.detik.com/sumut/hukum-dan-kriminal/d-6502292/sederet-fakta-pasien-salah-operasi-di-rs-murni-teguh.
Herliyanti, D. (2021). PAHAMI HAK PASIEN DALAM LAYANAN KESEHATAN "Tinjauan Perspektif Hukum".Retrieved from https://rsjlawang.com/news/detail/559/pahami-hak-pasien-dalam-layanan-kesehatan-tinjauan-perspektif-hukum
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H