Mohon tunggu...
Maulida UsnaAulia
Maulida UsnaAulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Saya Mahasiswi UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah

saya seorang anak ke dua dari dua bersaudara, alhamdulilah bisa menempuh bangku perkuliahan di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, semoga saya konsisten dalam mengembangkan tulisan tulisan saya.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Fenomena Konten Viral War Takjil 2024 Dalam Mempererat Prinsip Moderasi Beragama di Masyarakat Multikultural

31 Desember 2024   16:00 Diperbarui: 31 Desember 2024   15:32 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Saat ini, kekerasan dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu masih sering terjadi, yang dapat memperburuk konflik sosial dalam masyarakat multikultural. Media digital yang semakin canggih juga kadang digunakan untuk menyebarkan diskriminasi agama dan intoleransi. Diskriminasi agama berarti memperlakukan seseorang berbeda karena keyakinan dan praktik agamanya, dan sering kali berasal dari prasangka yang membesar dan menimbulkan kesalahpahaman antarumat beragama. Sementara itu, intoleransi adalah sikap tidak menerima perbedaan, yang dapat mengancam kerukunan, ekonomi, keadilan, dan perilaku sosial.

Fenomena "War Takjil" pada bulan puasa tahun 2024, misalnya, telah membantah berbagai isu intoleransi dan diskriminasi agama. "War Takjil" merupakan tradisi ngabuburit yang awalnya dilakukan umat Muslim, namun kini diikuti oleh masyarakat dari berbagai agama, seperti Kristen, Hindu, dan Buddha. Tradisi ini menjadi viral di media sosial, terutama TikTok, dengan banyak komentar positif antaragama. Fenomena ini menunjukkan respon masyarakat terhadap isu kerukunan dengan cara yang berbeda. Bagi sebagian orang, "War Takjil" adalah sarana mempererat hubungan lintas agama dan budaya, dengan berbagi takjil kepada siapa saja tanpa melihat agama.

Hal ini mendukung prinsip moderasi beragama, yaitu sikap menghormati perbedaan dalam kebersamaan. Namun, ada juga yang berpendapat acara ini perlu lebih inklusif agar semua orang merasa nyaman dan dapat berpartisipasi. Prinsip moderasi beragama memainkan peran penting dalam fenomena ini, menjadi jembatan penerimaan tradisi yang menghormati serta mendukung ekonomi masyarakat multikultural, terutama dalam "War Takjil."

Serta diharapkan tradisi yang bisa dikatakan baru ini tidak akan pudar ditelan oleh berbagai isu-isu yang beredar untuk memecah belah antarumat beragama. Diharapkan pula War Takjil ini semakin di kenal khususnya masyarakat multikultural, supaya persepsi negatif diantara umat beragama bisa berkurang, dan masyarakat tidak lagi memandang latar belakang baik itu dari sisi agama maupun suku budaya untuk ikut serta dalam meramaikan tradisi yang nantinya diharapkan membangun kembali jiwa-jiwa toleran, nasionalis, berbudaya  sebagai ciri khas masyarakat Indonesia.

Prinsip Ishlah Meruntuhkan Sikap Intoleran dan Diskriminasi dalam Fenomena War Takjil 

Di era modern yang cukup kompleks ini, harmonisasi masyarakat multikultural selalu disertai dengan aksi polemik yang sangat mengancam keberagaman yang ada di Indonesia. Masyarakat multikultural sendiri adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai suku dengan struktur budaya yang beragam. Ciri-cirinya meliputi adanya segmentasi, struktur sosial yang berbeda, tingkat konsensus yang rendah, potensi konflik yang relatif tinggi, integrasi yang sering terjadi secara paksa, serta dominasi politik oleh kelompok tertentu. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya masyarakat multikultural meliputi kondisi geografis, pengaruh budaya asing, perbedaan iklim, keragaman suku, agama, dan ras. Konflik sering kali terjadi akibat keanekaragaman tersebut, seperti konflik antar etnis, yang dapat diselesaikan dengan pendekatan berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal saat ini bentuknya sangat beragam, salah satu yang penulis amati adalah adanya tradisi baru berupa Fenomena War Takjil yang sempat viral di aplikasi Tiktok pada bulan puasa tahun ini. 

War Takjil atau sederhananya adalah berburu takjil merupakan salah satu tradisi baru yang unik dan mempererat jalinan tali persaudaraan antarumat beragama di Indonesia. Di Indonesia sendiri, berburu takjil sudah menjadi sebuah budaya setiap tahunnya saat bulan Ramadhan tiba. Akan tetapi istimewanya war takjil pada bulan Maret kemarin seakan membuat suasana baru dikalangan masyarakat multikultural, di antara masyarakat muslim dan non muslim. Fenomena "War Takjil Ramadhan" di TikTok menjadi sorotan dalam diskusi tentang toleransi beragama di Indonesia. Akun TikTok seperti @Kelinisty dan @eloardoaruanse mempopulerkan tren ini dengan konten yang menunjukkan umat Muslim dan non-Muslim berburu takjil bersama, menciptakan momen kebersamaan dan memperkuat toleransi. Salah satu unggahan @Kelinisty bahkan memparodikan fenomena ini untuk menonjolkan sikap saling menghormati antaragama di Indonesia. Konten ini mengubah pandangan masyarakat dengan menampilkan bagaimana perbedaan keyakinan tidak menghalangi kebersamaan. Tren ini semakin menarik perhatian saat pemuka agama, Steve Marcel Saerang, membahasnya dalam khutbah di Gereja Tiberias. Dengan humor, ia mengatakan, "Soal agama kita toleran, tapi soal takjil kita duluan," yang direkam oleh akun TikTok @mewlon3 pada 18 Maret 2024. Unggahan ini disambut positif oleh netizen sebagai contoh toleransi yang santai dan inklusif.

 Oleh sebab itu, di sini penulis menggunakan perspektif moderasi beragama dengan mengambil salah satu prinsip dari berbagai macam prinsip, yakni prinsip Ishlah. Ishlah (reformasi)  berakar  dari  kosa  kata  bahasa  arab  yang  berarti memperbaiki  atau mendamaikan. Dalam  konsep  moderasi, islah  memberikan  kondisi  yang  lebih  baik  untuk  merespon perubahan   dan   kemajuan   zaman   atas   dasar   kepentingan umum dengan berpegang pada prinsip memelihara nilai-nilai tradisi lama yang baik dan menerapkan nilai nilai tradisi baru yang lebih baik demi kemaslahatan bersama. Pemahaman ini akan  menciptakan  masyarakat  yang  senantiasa  menyebarkan pesan perdamaian dan kemajuan menerima pembaharuan dan persatuan dalam hidup berbangsa. Prinsip ini mengacu pada upaya menciptakan kebaikan serentak, menyelesaikan perbedaan dengan damai dan membangun harmoni di tengah masyarakat. Dengan prinsip ishlah ini, setiap kelompok atau individu diperlakukan setara, tanpa melihat status sosial, agama, atau latar belakang yang penulis tekankan bahwa prinsip inilah yang dapat mematahkan potensi diskriminasi.  

Dari seluruh penjelasan di atas dapat dipahami secara lebih mendalam mengenai urgensi prinsip Ishlah atau era reformasi menuju masyarakat yang saling mendamaikan dan berbagi kebaikan dalam tradisi War atau istilah lainnya perang berburu takjil. Di setiap daerah di Indonesia sudah pasti ada bermacam individu yang berbeda keyakinan, sehingga War Takjil ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar atau metropolitan, bahkan bisa dikatakan merata di seluruh Indonesia. Meskipun dari data yang ada, mayoritas masyarakat Indonesia adalah beragama islam, justru semakin membuat antusias nonis turut berpartisipasi dalam berburu takjil ini, tidak hanya nonis saja, bahkan terkadang sesama muslim tetap berburu demi memeriahkan bulan suci tersebut.

 

Fenomena "War Takjil" tahun 2024 menjadi hal yang menarik yang membuktikan bahwa tradisi lokal mampu menjadi sarana efektif dalam mempromosikan toleransi dan mengurangi diskriminasi di masyarakat multikultural. Melalui kegiatan ini, masyarakat dari berbagai latar belakang agama---baik Muslim maupun non-Muslim---dapat saling berinteraksi dan berbagi, yang pada akhirnya memperkuat solidaritas antarumat beragama. Tradisi ini juga menunjukkan peran penting media digital, khususnya TikTok, dalam mendukung dialog lintas budaya melalui konten yang menginspirasi serta penuh humor. Fenomena ini menjadi aplikasi nyata dari prinsip Ishlah dalam moderasi beragama, yang menekankan harmoni melalui pendekatan damai, penghormatan terhadap perbedaan, dan pembaruan tradisi demi kemaslahatan bersama. Tradisi ini tidak hanya menjadi bentuk perlawanan terhadap intoleransi, tetapi juga menjadi simbol persatuan yang mampu mematahkan stereotip dan prasangka antarumat beragama. Dengan melibatkan berbagai komunitas dalam kegiatan seperti "War Takjil," Indonesia menunjukkan bahwa kebersamaan dapat melampaui perbedaan. Tradisi ini diharapkan terus berkembang dan menjadi contoh bahwa kearifan lokal mampu menjawab tantangan global, khususnya terkait harmoni sosial dalam masyarakat yang beragam.

Tradisi War Takjil di Indonesia merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya yang kaya, menggabungkan aspek sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan yang saling mendukung dan memperkaya satu sama lain. Sebagai sarana pelestarian kuliner lokal, War Takjil memfasilitasi keberagaman makanan tradisional yang berasal dari berbagai daerah, memperkenalkan cita rasa dan resep-resep yang telah diwariskan turun-temurun, serta memungkinkan generasi muda untuk mengenal dan menghargai kuliner tradisional mereka. Tradisi ini juga menjadi ruang untuk mempererat kebersamaan, di mana masyarakat dari berbagai latar belakang berkumpul untuk berbuka puasa, berbagi, dan saling menghargai, menciptakan ikatan sosial yang kuat dan memperkuat rasa persatuan. Selain itu, War Takjil juga mendukung perekonomian lokal dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta memperkenalkan produk-produk kuliner khas daerah yang dapat memperluas pasar dan memberikan peluang bisnis. Lebih jauh lagi, War Takjil memiliki potensi untuk membangun toleransi antar umat beragama, karena kegiatan ini terbuka untuk semua tanpa memandang latar belakang agama atau kepercayaan, dan dapat menjadi ajang untuk memperkenalkan nilai-nilai berbagi, kerukunan, dan menghormati perbedaan. Meskipun menghadapi tantangan, seperti masalah sampah, limbah makanan, dan menjaga kualitas produk, War Takjil tetap relevan sebagai tradisi yang mendukung pelestarian budaya, ekonomi, dan kebersamaan. Dengan menjaga dan mengembangkan tradisi ini, kita turut melestarikan kekayaan budaya Indonesia, memperkuat hubungan sosial, dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan toleran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun