CINTA adalah senjata pamungkas yang ampuh untuk mendidik manusia. Sayang ada kalanya ia juga bisa menjadi alasan sekelompk orang untuk saling membunuh di antara mereka. Manusia dianugerahi kemampuan untuk memilih di antara dua jalan tersebut. Jika pilihan jatuh pada yang pertama, alamat akan indah pada  akhirnya. Tetapi jika manusia tergelincir pada jalan TANPA CINTA, bisa diramalkan hasil yang akan diperoleh.
Sejak manusia pertama hadir di muka bumi, sejarah telah dipenuhi dengan pertumpahan darah dan kebencian. Memang hidup ibarat pasangan siang dan malam. Ada kebaikan ada kejahatan, ada cinta ada pula benci. Ada yang memilih jalan damai namun tak sedikit  yang memilih jalan kekerasan. Pada akhirnya setiap orang akan bertanggung jawab dengan pilihan hidupnya masing-masing. Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang telah menyediakan kedua jalan tersebut beserta konsekuensinya. Tinggallah pilihan manusia yang akan menentukan takdir kehidupannya.
Dunia sejak dahulu berhias sejarah tokoh-tokoh protagonis dan antagonis. Dari kelompok protagonis, ada Bunda Theresa, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Dalai Lama, Martin Luther King, dan yang terbaru, Malala Yousafzai dari Pakistan. Dan dari barisan antagonis kita sudah tidak asing dengan nama-nama mereka, Adolf Hitler, Josef Stalin, Pol Pot, Mussolini, atau para pembantai keluarga nabi di Karbala. Bisa dibandingkan jejak sepak terjang kedua jenis manusia ini dalam sejarah. Siapa yang berhasil meninggalkan rekam jejak positif dan siapa yang sebaliknya. Pola perilaku manusia yang akan terus berulang dari zaman ke zaman. Manusia identik dengan segala kebaikan, namun juga identik dengan segala keburukan. Dalam dirinya tersimpan potensi malaikat sekaligus sifat-sifat syaithon. Tanpa pengetahuan dan nalar kita akan terhempas ke lembah penghancuran diri.
     Â
Memutus belenggu kebodohan dan membangkitkan kesadaran individual
Pengetahuan itu mencerahkan dan membangun, sebaliknya ketidaktahuan menjatuhkan dan menghancurkan. Jika kita semua menyadari hakikat pengetahuan ini tentu kita tidak akan ingin masuk dalam golongan orang-orang yang tidak berilmu dan berpengetahuan. Namun patut disayangkan keinginan tersebut tidak diiringi dengan tindakan yang jelas dan nyata, bagaimana agar individu-individu di masyarakat bisa tercerahkan. Sehingga kualitas kehidupannya pun akan meningkat dan semakin baik dari waktu ke waktu.
Jika selama ini pencerahan dan sumber pengetahuan umumnya adalah sekolah atau lembaga-lembaga formal lainnya, maka sudah saatnya kita berpikir tentang sekolah otodidak. Inisiatif belajar dan menambah wawasan berasal dari diri sendiri. Sumbernya adalah buku-buku baik pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, internet, atau bertanya pada sumber-sumber yang dapat dipercaya. Seperti para ahli, praktisi, atau pemerhati masalah pendidikan anak dan keluarga.
Persoalan terbesar sekarang adalah kesadaran. Betapa banyak orang yang menghadapi masalah namun tidak menyadari jika mereka bermasalah. Mereka berpikir semuanya akan baik-baik saja seiring berlalunya waktu. Padahal masalah itu ibarat bom yang siap meledak sewaktu-waktu jika tidak tertangani dengan baik, sedikit demi sedikit. Mengapa sering sekali kita membaca dan mendengar berita orangtua yang tega menelantarkan anaknya, meninggalkannya, atau bahkan membunuhnya. Berita tentang kekerasan seksual yang dilakukan oleh orangtua terhadap anak kandungnya sendiri nyaris setiap hari menjadi judul berita di koran lokal maupun nasional. Suami yang tanpa perasaan menghabisi nyawa istrinya, belahan jiwa yang dulu pernah sangat ia cintai. Semua tak lain dan tak bukan akibat stres dengan masalah yang harus ia tanggungkan dalam kehidupannya. Tanpa pengetahuan dan kesadaran spiritual dan keagamaan yang baik seseorang akan dengan mudah tergelincir dalam perbuatan tak berperikemanusiaan.
Belajar atas dorongan kemauan dan inisiatif pribadi bisa menjadi sebuah kekuatan kunci yang akan bertahan lama di kedalaman jiwa. Karena ia berasal dari internal diri sendiri, bukan sekadar dorongan dari luar yang mungkin saja sifatnya hanya sementara. Belajar atas kehendak dan kebutuhan pribadi sifatnya akan lebih mengena pada sasaran yang tepat. Ia tidak hanya mengambang di awang-awang, sebatas teori yang tak membumi. Berbeda halnya jika ia adalah sesuatu yang dibutuhkan saat ini, urgen, dan penting.
Oleh karenanya mencintai pengetahuan apa pun itu, sangat penting dalam setiap bagian kehidupan manusia. Jika seseorang mencintai suatu pengetahuan karena sejatinya memang sangat dibutuhkan, maka daya tahannya pun tentu akan lebih lama bahkan bisa untuk selamanya. Mencari ilmu karena cinta, akan diamalkan pula dengan penuh kecintaan. Sebagaimana hakikat cinta yang akan bertahan lama dan efektif, maka seorang orangtua ataupun guru yang melakukan transfer ilmu dengan penuh cinta, akan diterima pula dengan hati yang penuh cinta. Dan jika belum menunjukkan respon dan hasil yang nyata, ia akan bersabar dalam prosesnya.
Karena cinta memang tidak mengenal lelah... Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H