Sejak lama minat saya terhadap pendidikan anak dan keluarga senantiasa berkembang, bahkan  ia dimulai sejak saya masih berstatus mahasiswi, belum menikah, dan memiliki anak. Seperti sebuah anugerah yang sangat besar dan sungguh tak ternilai harganya. Saya tidak menempuh pendidikan khusus untuk mempelajari semua hal yang berkaitan dengan pembentukan keluarga. Bahkan jenjang akademik saya pun hanya berakhir di semester tujuh fakultas Sastra di sebuah perguruan tinggi negeri ternama di Makassar. Daya tarik membentuk keluarga lebih mendesak untuk dipenuhi ketimbang melanjutkan pendidikan di universitas ketika itu.
 Secara hitung-hitungan material nampaknya saya merugi. Melewati tahun-tahun awal hingga setengah perjalanan kuliah dengan  biaya tersendiri tentu sesuatu yang tidak menguntungkan, meski biaya kuliah saat itu bersumber dari bea siswa universitas yang disediakan bagi mereka yang memiliki nilai-nilai akademik yang memuaskan. Namun rupanya tanggung jawab moral sebagai calon ibu berhasil mengalahkan keragu-raguan saya ketika itu. Walhasil kegiatan perkuliahan di bangku akademik ditinggalkan, lanjut kuliahnya di universitas keluarga.
 Welcome to the jungle...
 Dengan berbekal pengetahuan warisan orangtua sebelumnya tentang bagaimana mengenali tanda-tanda fisik awal kehamilan, melahirkan, kemudian cara mengasuh anak, ditambah dengan buku-buku rujukan, majalah, dan lain sebagainya, kami terus memantapkan hati, melangkah memasuki sebuah dunia baru yang masih sangat asing kala itu. Hanya tiga bulan sejak bayi pertama lahir kami dikawal oleh orangtua. Selanjutnya tongkat estafet kehidupan diberikanlah kepada kami berdua.
Suka duka hidup bersama anak, jauh dari orangtua, dengan tertatih-tatih mengiringi kemajuan-kemajuan yang dicapai bayi, ditambah lagi dengan persoalan-persoalan keluarga kedua belah pihak, membuat kepala kadang  berdenyut-denyut. Silih berganti masalah kecil dan besar menggedor-gedor pintu kesadaran kami agar bisa terus berjalan, meski terkadang hanya detak jantung yang dapat kami perdengarkan.Â
Sesekali terasa letih namun semangat untuk terus mengawal dan menjaga amanah Tuhan dengan sebaik-baiknya mampu menutrisi jiwa kami. Sekali lagi dukungan pengetahuan dari buku, majalah, talkshowtelevisi, narasumber ahli pendidikan keluarga, para psikolog di berbagai forum pertemuan menjadi kawan-kawan setia kami dalam usaha menemukan solusi.
      Zaman tahun 90-an awal, teknologi belumlah secanggih sekarang. Di mana bertebaran informasi dari internet dan media-media online lainnya. Begitu ada masalah, tinggal ‘klik’, aneka penjelasan dalam bentuk tulisan akan berloncatan muncul menawarkan diri untuk dibaca. Jangankan internet, telepon seluler pun masih sangat langka yang memilikinya. Benar-benar pelajaran tentang pengasuhan hanya bersumber dari buku, seminar, dan televisi saja.
      Olehnya itu, buku-buku menjadi hadiah istimewa dan berharga dalam keluarga kecil kami. Ia  menjadi sumber rujukan kala masalah menimpa. Peristiwa-pertistiwa kelahiran, pernikahan, ulang tahun, umumnya disimbolkan dengan kado buku. Benda ini benar-benar telah menjadi sahabat sejati kami dalam mengarungi samudera kehidupan keluarga. Hingga saat ini sebagian besar buku-buku koleksi kami tersebut menyimpan kenangan tersendiri akan sebuah peristiwa tertentu pada masa lalu.  Ada tanggal dan beberapa baris kalimat yang meneguhkan tertera di sana.
      Saat ini kami telah dikaruniai empat orang anak dalam usia pernikahan duapuluhtiga tahun. Anak sulung kami yang perempuan tak lama lagi akan menyelesaikan studinya di almamater yang sama dengan saya dulu. Yang kedua, juga seorang mahasiswi yang senang dengan dunia desain grafis. Yang ketiga juga seorang perempuan, saat ini duduk di bangku SMU kelas dua. Dan yang bungsu,  anak laki-laki satu-satunya dan masih duduk di bangku kelas 4 SD.
     Â
Berbagi semangat dan pengetahuan