Mohon tunggu...
Mauliah Mulkin
Mauliah Mulkin Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

"Buku adalah sahabat, guru, dan mentor". Ibu rumah tangga dengan empat anak, mengelola toko buku, konsultan, penulis, dan praktisi parenting. Saat ini bermukim di Makassar. Email: uli.mulkin@gmail.com Facebook: https://www.facebook.com/mauliah.mulkin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Makassar Bergeliat Menuju Kota Literasi

20 Mei 2016   19:58 Diperbarui: 20 Mei 2016   20:07 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana perhelatan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2016 (sumber foto: Facebook Imhe Mawar)

Apa yang kamu bayangkan tentang Makassar? Wajah ibu kota Sulawesi Selatan ini kerap muncul di televisi lewat unjuk rasa yang rusuh, bakar ban, atau tawuran antarmahasiswa. Lewat ruang-ruang baca, sebagian kaum muda di Makassar bergerilya menawarkan identitas baru: kota literasi.

Satu paragraf di atas adalah kalimat pembuka di halaman harian Kompas (20/5) hari ini. Bangga dan optimistis bercampur aduk dalam satu perasaan membaca laporan di kolom Muda harian ini. Dalam laporan mereka, ada dua tulisan yang menceritakan tentang semangat literasi yang sedang bergolak di kalangan anak-anak muda Makassar. Pertama, sebuah tulisan yang berjudul “Gerilya Membangun Ruang Baca”. Di sini diceritakan bagaimana kelompok-kelompok kecil dengan ruang-ruang sederhana,  berbekal semangat yang menggelora merintis toko buku sekaligus rumah baca bagi kalangan mahasiswa dan umum. Ada Kedai Buku Jenny (KBJ) yang mesti berpindah rumah sampai lima kali karena mencari tempat sewa yang murah. Ada pula Katakerja dan Kafe Dialektika dengan lokasi yang berada di satu area.

Sedangkan untuk ruang baca, saat ini pun sudah banyak tersebar di mana-mana. Termasuk kelompok-kelompok kecil kepenulisan. Saya dan beberapa teman yang umumnya masih mahasiswa  menjadi salah satu bagian dari gerakan ini. Kami tergabung dalam sebuah kelompok Kelas Literasi Paradigma Institute (KLPI). Hanya rupanya Kompas belum mengenal kelas menulis yang kami gagas. Dan berita menggembirakannya adalah, sebagian dari komunitas ini ternyata memiliki penerbitan sendiri. Jadi menulis, menerbitkan, dan mendistribusikan menjadi bagian penting dari aktivitas mereka.

Kedua, tulisan pada kolom Bincang-bincang, “Berlayarlah di Samudra Buku”, menulis bagaimana hangatnya diskusi yang dipandu oleh Maman Suherman, seorang penulis yang berdarah Makassar namun memilih berdomisili di ibu kota. Para peserta diminta membawa sebuah buku favorit yang telah menginspirasi hidup mereka. Ada cerita tentang Bumi Manusianya  Pramoedya Ananta Toer yang telah menularkan semangat berwirausaha kepada seorang mahasiswi Makassar untuk membuka usaha kuliner. Ada pula pemuda yang terinspirasi buku  Islam dan Sosialisme karangan HOS Tjokroaminoto, yang kemudian melecutnya untuk membangun sebuah perpustakaan kecil di desanya, di Kecamatan Galesong Selatan, Takalar.

Kedua tulisan di atas mengambil latar keramaian perhelatan Makassar International Writers Festival, 2016 di Fort Rotterdam, Makassar yang sementara berlangsung.

Suasana perhelatan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2016 (sumber foto: Facebook Imhe Mawar)
Suasana perhelatan Makassar International Writers Festival (MIWF) 2016 (sumber foto: Facebook Imhe Mawar)
Kelas literasi Paradigma Institute

Karena nama Kelas Literasi Paradigma Institute luput dari sebutan di harian ini, selain karena memang usianya yang baru seumur jagung alias baru setahunan, maka pada tulisan ini saya akan melengkapinya dengan membuat sedikit ulasan tentangnya. Kelas ini digagas kurang lebih setahun yang lalu, oleh tiga pionir, seorang mahasiswa pascasarjana, Bahrul Amsal, penulis buku, Asran Salam, dan pimpinan Paradigma Ilmu Group, Sulhan Yusuf.

Dari sejumlah pegiat menulis yang tergabung dalam kelas ini, beberapa di antaranya sudah berhasil menggolkan tulisan-tulisan mereka di media-media cetak lokal dan daring, bahkan karya berupa buku sudah pula lahir dari tangan mereka. Penerbitannya dikerjakan oleh teman  sesama penulis sekaligus penerbit yang juga  pegiat di komunitas ini. Dalam pekan-pekan berjalan, peserta silih berganti rupa, ada yang bertahan, namun tak sedikit pula yang mundur teratur dan perlahan. Situasi ini tak lantas menyurutkan semangat mereka yang bertahan. Walau yang hadir kadang kala hanya tiga sampai empat orang dalam satu sesi pertemuan. Pekan berikutnya bisa jadi kembali ramai. Begitu seterusnya silih berganti.

Jika akhir-akhir ini sebagian kita merasa tertampar dengan fakta dunia bahwa Indonesia menempati urutan ke-60 dalam hal minat baca, maka untuk Makassar dan sekitarnya nampaknya ini tidak berlaku. Semoga pengamatan saya benar adanya. Kalau pun dianggap menyumbang peran dalam hal keterpurukan membaca, maka anak muda yang saya gambarkan di atas jelas tidak termasuk di antaranya.

Tak dapat dimungkiri gawai dan acara hiburan lainnya mungkin saja jauh lebih menggoda dan menarik minat banyak anak-anak Makassar, namun jika gelombang semangat ini terus bergulung, maka tak menutup kemungkinan situasi akan berbalik seratus delapan puluh derajat. Kita lihat saja nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun