Mohon tunggu...
Mauliah Mulkin
Mauliah Mulkin Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

"Buku adalah sahabat, guru, dan mentor". Ibu rumah tangga dengan empat anak, mengelola toko buku, konsultan, penulis, dan praktisi parenting. Saat ini bermukim di Makassar. Email: uli.mulkin@gmail.com Facebook: https://www.facebook.com/mauliah.mulkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Literasi Parenting

26 Februari 2016   13:14 Diperbarui: 26 Februari 2016   13:43 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Diskusi parenting di sebuah pelataran perguruan tinggi negeri di Makassar. (dok.pribadi)"][/caption]Anak-anak perlu dibantu, benar, tapi mereka bukan monster kecil yang harus dijinakkan atau ditundukkan. Mereka memiliki kemampuan untuk mempunyai belas kasihan atau agresif, mendahulukan kepentingan umum atau egois, bekerja sama atau bersaing. Penggalan kalimat di atas ditulis oleh Alfie Kohn, psikolog asal Amerika Serikat dalam halaman awal buku Unconditional Parenting: Moving from Rewards and Punishment to Love and Reason.

Saya membutuhkan waktu yang lebih panjang dengan pengulangan hingga dua kali untuk dapat memahami seluruh pesan dalam buku ini. Karena bagi orang-orang seperti saya, yang dibesarkan dengan aturan-aturan semi militer, perlu usaha keras untuk mengadaptasi metode yang diajarkan oleh penulisnya. Juga dalam menggeser paradigma yang selama ini diterapkan oleh kedua orangtua saya.

Sebab, bukan  perkara yang mudah untuk diterima akal sehat jika seorang anak semestinya dibesarkan dengan cara penuh belas kasih, karena tradisi dan budaya yang telah mempengaruhi cara kebanyakan orangtua mendidik anak-anaknya selama ini. Dalam benak mereka, hanya ada dua cara mengasuh anak: mendidik ala perwira militer, atau  mendidik anak bak raja dan ratu yang dituruti segala keinginannya. Dalam istilah psikologinya dinamai pola asuh otoriter dan pola asuh permissif. Inilah barangkali yang terjadi akibat tradisi mengasuh yang diwariskan selama ini dari generasi ke generasi .

Lalu waktu berputar dengan cepat dan setiap orang menjadi sedemikian sibuknya, sehingga mengabaikan sesuatu yang tampaknya alamiah terjadi, melanjutkan keturunan. Karena kealamiahannya, sampai-sampai banyak yang meyakininya sebagai suatu proses kejadian yang biasa saja. Sebuah proses regenerasi yang tak perlu dipelajari dengan serius atau sungguh-sungguh. Akibatnya,  persiapannya pun nyaris tidak ada atau kalaupun ada, sangat minim.

Sekian miliar tahun usia bumi, manusia bergenerasi-generasi lahir tanpa kuasa untuk dibendung. Setiap orang menganggap dirinya mampu melanjutkan keturunannya dengan baik, hingga tiba pada kenyataan akan berjibunnya persoalan besar di balik itu semua. Orang-orang menjadi kewalahan, kalap, dengan emosi yang bercampur aduk yang melahirkan banyak keputusan yang ceroboh dan tindakan yang pada akhirnya sangat dia sesali. Tindak kriminal pada anak adalah salah satu wujudnya. Mereka sosok lemah yang tak berdaya, yang semestinya menjadi tumpahan kasih sayang, justru menjadi sasaran amuk kemarahan orang dewasa yang seharusnya menjadi pelindungnya.

“Mari berubah menjadi lebih baik.” Slogan ini yang sering saya ulang-ulangkan kepada siapa pun yang menghadapi masalah. Tapi untuk berubah jelas seseorang harus belajar. Belajar lewat buku, bacaan yang bermanfaat, kelompok diskusi, atau bisa pula dalam bentuk pelatihan-pelatihan. Sedangkan orang yang mau belajar adalah orang yang sadar akan kekurangannya. Makanya ia merelakan dirinya belajar untuk memperbaikinya. Sayangnya, tidak banyak yang sadar. Seolah memang adanya seperti ini. Padahal ia sesungguhnya telah masuk ke dalam labirin panjang yang menjebak.

Menyadari situasi ini, saya tergerak untuk membentuk sebuah komunitas yang terdiri dari para orangtua dan calon orangtua, sebuah wadah yang kami namai kelas parenting (kepengasuhan). Sekumpulan orang yang bercita-cita untuk membentuk keluarga yang harmonis, anak-anak yang terdidik untuk mandiri dan merdeka dalam berpikir dan mengambil keputusan.

Generasi yang berkualitas perlu diciptakan. Ia tidak akan hadir tanpa usaha yang serius dan sungguh-sungguh. Mungkin semua orang bisa jika mengasuh anak hanya sekadarnya saja. Akan tetapi belum tentu mampu jika ingin membesarkannya berdasarkan prinsip-prinsip kepengasuhan yang humanis, yang secara alamiah justru sangat dibutuhkan oleh otak manusia, teristimewa anak-anak.

Sebagaimana yang diperingatkan oleh Karen Armstrong dalam bukunya, Compassion, bahwa Kita manusia, dibandingkan dengan spesies-spesies lainnya, bergantung secara lebih radikal pada cinta. Otak kita telah berevolusi untuk peduli dan membutuhkan kepedulian—sedemikian rupa sehingga mereka menjadi lemah jika kepedulian ini tak ada.

Membaca, berdiskusi, saling memotivasi, dan menginspirasi adalah sebagian kecil aktivitas yang dilakukan oleh para orangtua ini. Terkadang masalah pribadi demikian pelik, tidak cukup hanya dengan satu jawaban atau solusi. Dalam tataran perbincangan tampaknya mudah dilakukan, namun ternyata sulit dalam prakteknya. Karena seringkali sebuah masalah berkaitan dengan masalah lainnya.

Misalkan anak yang sedikit-sedikit menangis atau mudah ketakutan jika ditinggal sendirian ternyata jika ditilik ke belakang, memiliki kaitan dengan persoalan tempat bermukim mereka yang masih harus seatap dengan pihak keluarga besar. Akhirnya anak pun dibesarkan dengan aturan-aturan yang berbeda antara orangtua dengan nenek dan kakeknya, sehingga jika si orangtua peserta kelas parenting hanya memiliki napas yang pas-pasan, ia boleh jadi berhenti di tengah jalan karena kelelahan. Untuk mengatasi segala kemungkinan, maka komunikasi yang erat dan hangat antar sesama peserta amat diharapkan, agar dapat tetap bertahan  hingga ia kembali kuat dan siap berjalan kembali.

Anak-anak yang tumbuh dengan tingkat kepedulian tinggi, tidak lemah, mudah berempati terhadap penderitaan sesama, tidak egois, mandiri, dan penuh cinta tentu tidak  terlahir begitu saja. Ia harus diusahakan. Tidak bisa hanya sambil lalu, atau jika hanya kalau ada waktu. Namun  kita perlu mengusahakannya dengan segenap hati dan pikiran kita, dengan sepenuh tekad dan kekuatan yang ada. 

Sayangnya, ia harus dimulai dari sekarang, dari diri masing-masing, anak-anak kita, termasuk juga anak-anak di lingkungan sekitar kita. Jika tidak, tampaknya kita akan kehilangan generasi penerus yang berbobot. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun