[caption id="attachment_378245" align="aligncenter" width="300" caption="Foto dari kiri ke kanan: penerjemah, Prof. DR. Alsavand, Dina Y. Sulaeman, M.Si, Drs. Alwi Rahman, moderator."][/caption]
Hari itu Kamis, 9 April 2015. Beberapa hari sebelumnya saya sudah mengagendakan untuk hadir ke sebuah seminar yang beberapa tahun terakhir ini sudah jarang saya lakukan. Bukan karena pintar atau banyak tahu, tapi karena kendala waktu dan kesempatan yang membatasi. Namun kali ini berbeda karena saya akan bertemu dengan seorang ibu rumah tangga penulis dan pengamat masalah Timur Tengah yang selalu menarik ulasannya. Dina Y. Sulaeman, M.Si.
Awalnya saya mengira hanya beliau sendiri yang akan berbicara, namun belakangan saya ketahui kalau selain beliau ada seorang pembicara perempuan dari Iran, bernama Prof. DR. Alsavand. Ditambah lagi seorang budayawan Sulsel yang sudah akrab dengan kami. Beliau Drs. Alwi Rahman. Selain pernah beberapa kali mengundang berbicara pada forum sejenis, kami juga sudah akrab lewat tulisan-tulisan beliau pada koran Tempo Literasi. Kloplah sudah motivasi untuk hadir.
Perempuan, keluarga, dan globalisasi
Jika ada yang bertanya minat saya sebenarnya ada di mana? Maka saya dengan spontan akan menjawab: anak dan keluarga. Yang di dalamnya melibatkan banyak persoalan di antaranya perempuan, komunikasi, dan media. Kenapa saya tertarik hadir pada acara dengan tema: Perempuan, Masyarakat & Politik Internasional, karena sekali lagi para pembicaranya. Jadi pikiran saya saat itu adalah apa pun nanti yang akan dibahas oleh ketiga orang ini, saya akan dengan senang hati menyimak dari awal hingga akhir. Dan itu terbukti saya lakukan tanpa rasa bosan atau mengantuk.
Ternyata semua pembahasannya memang menarik. Hal ini terlihat dari animo peserta yang hadir, dimana panitia harus menambah beberapa kursi ke dalam gedung IPTEKS UNHAS yang sudah berkapasitas 300 orang itu. Kegembiraan dalam semangat berkumpul bersama mahasiswa-mahasiswa serasa membuat jiwa kembali muda. Serta perjumpaan dengan beberapa teman yang sudah berbilang tahun baru ketemu padahal masih tinggal satu kota. Rupanya dua dampak globalisasi dari tiga yang dipaparkan oleh Alwi Rahman, yakni mudahnya komunikasi dan internet telah membuat kami nyaman dalam posisi masing-masing sehingga komunikasi cukup dilakukan via media sosial saja.
Menurut beliau, masyarakat saat ini mengalami guncangan ‘identitas budaya’. Di antaranya: pertama,karena globalisasi, transportasi jadi lebih mudah. Orang-orang gampang bertemu dari belahan dunia mana pun, akses komunikasi dan internet (teknologi)memudahkan orang untuk berinteraksi, demikian pula dengan konflik yang juga mudah terjadi di antara mereka. Kedua,terjadi detradisionalisasi. Tradisi berkumpul dan duduk bersama yang dulu sering dilakukan, sekarang menjadi sesuatu yang langka dan mahal. Ketiga, terjadi kerenggangan hubungan sosial. Konflik SARA terjadi di mana-mana. KonflikAceh, Poso, Papua, Ambon, dll menunjukkan semakin rapuhnya masyarakat. Malangnya, perempuan selalu menjadi korban terbanyak dari kerusuhan dan konflik-konflik yang terjadi selama ini.
Oleh Dina Sulaeman, perempuan diposisikan sebagai motor penggerak yang mampu melakukan perubahan dari lingkungan terkecil sekalipun. Misalnya para perempuan yang sudah memahami peta perekonomian dunia meski secara garis besar, dapat mengajari anak-anak mereka dalam keluarga atau para perempuan yang ada di lingkungannya untuk menciptakan produk-produk pengganti bahan-bahan yang selama ini harus mereka beli dari pabrik besar. Misalnya pupuk organik yang berasal dari sampah-sampah rumah tangga, yang mereka olah sendiri, kemudian dijadikan pupuk untuk menyuburkan tanaman bunga, sayur, dan buah di lingkungan pekarangan rumah masing-masing.
Kembali membiasakan mengkonsumsi makanan khas tradisional masing-masing daerah agar tidak lagi sepenuhnya tergantung pada makanan-makanan berbahan gandum yang pengadaannya mesti diimport dari luar negeri. Menurutnya dengan metode penjelasan yang menarik, anak-anak secara perlahan akan memahamimengapa mereka perlu membiasakan mengkonsumsi makanan-makanan lokal produksi negeri sendiri.
Meski beliau seorang pemerhati masalah Timur Tengah, namun pada kesempatan ini (mungkin karena waktu yang terbatas) ia hanya menyinggung sedikit soal Saudi Arabia, Yaman, dll.
[caption id="attachment_378247" align="aligncenter" width="150" caption="Bersama Prof. DR. Alsavand"]
Prof. DR. Alsavand berbicara perempuan Iran
Beliau seorang peneliti dan anggota Dewan Ilmiah dari Pusat Studi Qom, Iran. Sekaligus anggota Dewan Sosial Budaya Perempuan Iran. Beliau yang memegang gelar PhD dalam isu-isu perempuan juga mengajar hukum Islam di seminariJamiat az-Zahra di Qom.
Menurutnya, banyak kemajuan yang berhasil dicapai perempuan Iran yang dapat menjadi contoh buat negara lain. Khususnya dalam memajukan perempuan-perempuannya. Di antaranya:
- Perempuan Iran yang terus bergerak mencapai tujuannya.
Berdasarkan indikator kemajuan SDM dari PBB, perempuan Iran memiliki kemajuan yang berarti dalam bidang pendidikan, riset, sains, penciptaan lapangan kerja, profesi, dan kesehatan. Ini terjadi saat negara Iran diboikot secara sepihak dengan dahsyat.
- Mempertahankan keutuhan dan solidaritas keluarga untuk pemberdayaan sosial politik dan ekonomi perempuan sehingga dengan menciptakan keseimbangan di antara beberapa peran dapat membantu dalam efisiensi dan efektivitas peran maksimal dalam keluarga dan masyarakat.
- Semakin meningkatnya indikator harapan hidup bagi perempuan Iran.
- Dalam bidang konseling keluarga, mereka berhasil menurunkan tingkat perceraian hingga 45%.
Menjadi perempuan selalu membuatku bersyukur dan bersemangat. Apalagi jika bertemu dengan mereka yang bergerak dalam skala kecil, dalam ruang lingkup kecil, namun berdampak sangat luas.
[caption id="attachment_378244" align="aligncenter" width="300" caption="Bersama Dina Y. Sulaeman dan teman-teman peserta."]