Saat ini menyekolahkan anak bukan hanya menelan biaya yang besar, namun juga menelan korban yang banyak. Berita terhangat bulan ini mengangkat kasus kejahatan seksual yang dialami beberapa siswa TK yang ada di sekolah internasional JIS. Serta ada pula kasus penganiayaan yang berakhir dengan meninggalnya taruna tingkat satu, Dimas Dikita Handoko (19) di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta di Cilincing, Jakarta Utara. Belum lagi ribuan kasus asusila lainnya yang umunya dilakukan di tempat yang bernama ‘sekolah’.
Mengirim anak ke sekolah sudah menjadi suatu budaya dan keharusan yang sulit untuk diabaikan, kecuali orangtua tersebut seorang idealis atau tidak memiliki biaya yang cukup untuk itu. Jika yang dipilih adalah opsi yang pertama, tidak menyekolahkan anak di lembaga yang bernama sekolah karena idealisme, maka terkirim dua jempol untuk mereka. Akan tetapi jika yang terjadi adalah kondisi kedua, karena ketiadaan biaya, maka situasi serupa inilah yang memprihatinkan.
Meski sekolah senantiasa diberitakan miring, karena kasus-kasus yang terjadi di dalamnya, mulai persoalan penggelapan dana BOS, pemungutan liar terhadap murid, kejahatan seksual, kekerasan fisik dan pkiologis yang dilakukan pihak sekolah, sampai pada melayangnya nyawa siswa, ia tetap tak bergeming untuk dijadikan tujuan hidup--bukan lagi alat bagi banyak orangtua. Seolah tanpa bersekolah, hidup anak akan sia-sia.
Korelasi antara biaya pendidikan dan output
Apakah jamak orangtua melakukan hitung-hitungan soal biaya pendidikan anaknya? Mungkin ada yang kritis dan serius menghitungnya kemudian menimbang, sudah sepadankah biaya dan hasil yang mereka peroleh? Ada pula yang menganggapnya sebagai suatu hal yang wajar, dengan pertimbangan bersekolah itu memang butuh biaya besar? Entahlah. Yang pasti, siapa pun tak ingin membuang percuma sebuah biaya. Mesti ada hasil yang diharapkan.
Karena semua mengharapkan hasil yang lebih besar dari pengeluaran (prinsip ekonomi), maka tak heran jika biaya berobat ke dokter, menyewa pengacara, konsultan dan profesi lain menjadi sangat mahal. Sekolah dan dunia pendidikan umumnya sudah menjadi sebuah pasar yang potensial. Segala barang dan jasa diperjualbelikan di sini. Mulai baju seragam, buku, bahkan ijazah dan gelar pun tersedia di sana. Sekolah dan lembaga pendidikan yang sejenis sudah menjadi sebuah industri.
Meski kualitas masih menjadi tujuan para pencari ilmu sejati, namun pada kenyataanya, prosesnya tidak seperti yang diharapkan. Terkadang kualitas itu sendiri pun menjadi sebuah nilai yang sulit untuk didefinisikan. Karena yang seringkali terjadi adalah kualitas identik dengan fasilitas yang mahal dan canggih. Masyarakat banyak dibutakan akan hakikat pendidikan yang sebenarnya.
Menurut Paulo Freire (tokoh pendidikan Brazil) , hakikat pendidikan adalah pembebasan atau perubahan mindset bahwa di dunia ini hanya ada dua peran, sebagai PENINDAS atau TERTINDAS. Pendidikan harus mampu mengubah mindset ini agar kaum tertindas memiliki pandangan bahwa di dunia ini tidak hanya ada dua peran tersebut, tetapi juga ada peran “orang ketiga” yang bukan penindas dan yang tertindas. Di sinilah pendidikan melakukan fungsi pembebasan bagi kaum tertindas. Mereka bisa bebas tak lagi menjadi kaum tertindas, sekaligus tidak perlu menjalani peran sebagai penindas.
Tapi yang terjadi dengan kasus-kasus di atas, mereka hanya memposisikan diri sebagai penindas atau tertindas. Penafsirannya terhenti sampai di sini. Dan alhasil pendidikan yang terselenggara saat ini masih jauh dari tujuan sejatinya: PEMBEBASAN.
Memutus rantai yang membelenggu
Di saat kesadaran masih tersisa dalam hati orang-orang mulia, maka rantai yang membelenggu akan dapat diputuskan di mana pun posisi kita saat ini. Jika kita adalah orangtua, maka pantau dan dampingi anak-anak baik di sekolah terlebih lagi di lingkungan masyarakatnya. Mendampingi bukan dalam artian tidak mengajarkannya mandiri, akan tetapi lebih dimakudkan untuk bersikap antisipatif mengingat demikian mudahnya anak-anak didik mendapat perlakuan yang tidak manusiawi baik dari teman, guru, maupun lingkungan sekitar sekolahnya. Dan jika sekiranya hal-hal tersebut tetap terjadi, maka orangtua beserta warga masyarakat mesti segera ‘bertindak’.
Ayah Ibu sebagai bagian terpenting dari sebuah keluarga inti harus menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Memberikan perhatian yang lebih banyak terhadap anak, melimpahinya kasih sayang yang melebihi limpahan dalam hal materinya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abigail van Buren: “Jika Anda ingin anak-anak Anda menjadi orang baik-baik, berikan waktu Anda dua kali lebih banyak bagi mereka sedangkan uang cukup setengahnya saja”.
Dan yang paling penting, sebagai bagian dari warga masyarakat yang bertanggung jawab dengan kehidupan pribadi, keluarga, dan bangsanya, kita tetap perlu dan penting menanamkan kepedulian yang tinggi terhadap situasi ataupun peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat kita. Sekecil apa pun dukungan yang kita berikan, itu jauh lebih bermakna daripada hanya sebatas wacana saja. Think globally, act locally.
*Ibu rumah tangga dan pemerhati masalah pendidikan, anak, dan keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H