Mohon tunggu...
Mauliah Mulkin
Mauliah Mulkin Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

"Buku adalah sahabat, guru, dan mentor". Ibu rumah tangga dengan empat anak, mengelola toko buku, konsultan, penulis, dan praktisi parenting. Saat ini bermukim di Makassar. Email: uli.mulkin@gmail.com Facebook: https://www.facebook.com/mauliah.mulkin

Selanjutnya

Tutup

Edukasi Pilihan

Bolehkah Orangtua Mengintip atau Membuka Gadget Anak?

25 Agustus 2014   20:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:35 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="200" caption="http://artikelkesehatananak.com/wp-content/uploads/2012/09/Anak-Kecanduan-Teknologi-200x200.jpg"] [/caption] Sebagai orangtua yang hidup pada zaman yang serba canggih namun kadang mencemaskan ini, adalah lumrah jika menyimpan kekhawatiran tertentu terhadap perkembangan dan pergaulan anak-anak sekarang.

Bagaimana tidak, jika setiap langkah kita saat ini selalu dibayangi dan dikelilingi oleh ribuan godaan yang bisa muncul dari mana saja. Khususnya godaan-godaan yang bersumber dari internet. Internet lewat media-media sosial yang ditawarkannya seringkali disebut sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi ia bermanfaat, namun di sisi yang lainnya ia dapat menjerumuskan.

Ia menjadi bermanfaat jika digunakan untuk membantu mencari informasi-informasi yang dibutuhkan oleh seseorang, misalnya siswa yang ditugasi oleh guru untuk mencari tahu tentang tradisi unik dari suatu suku bangsa, atau para ibu yang ingin mencoba resep-resep masakan baru, biasanya akan meminta bantuan ke mbah Google. Intinya, apa pun soalnya semua akan ada jawabannya di internet.

Demikian pula sebaliknya. Ia berubah menjadi monster yang jahat dan menakutkan manakala seseorang salah menempatkan penggunaannya. Misalnya beberapa kasus remaja yang mengunggah video mesumnya ke you tube, atau anak kecil bau kencur yang penasaran dengan tampilan-tampilan gambar atau video tertentu. Yang dengan sedikit mengarahkan cursor dan mengklik tulisan tersebut, maka dengan cepat akan muncul gambar-gambar atau adegan-adegan yang tidak pantas untuk dilihat oleh publik, terlebih oleh anak-anak yang masih di bawah umur.

Tanpa perlu bersusah payah keluar rumah atau bahkan meninggalkan kamar, seorang anak sudah dapat menikmati berbagai kemewahan dunia di balik layar. Jika ajaran agama masih dapat memagari mereka dari hal-hal yang tidak patut ditonton, maka orangtua boleh bernafas lega. Akan tetapi bagaimana jika pagar-pagar pembatas tersebut telah roboh, tentu kemudian akan bermunculan insiden-insiden kekerasan ataupun tindakan-tindakan asusila lainnya.

Orangtua sebagai pihak yang paling bertanggung jawab terhadap masa depan anak-anaknya tentu tidak akan tinggal diam. Timbullah kemudian berbagai usaha antisipatif yang bertujuan agar anak-anak ini tidak semakin salah jalan atau menyimpang jauh dari koridor kebenaran. Salah satunya adalah dengan memantau gadget anak.

Siapa sih sekarang yang tidak memiliki gadget? Mulai TK saja anak-anak sudah banyak yang punya. Meski mungkin fungsinya hanya untuk bermain game, sms, atau tefonan. Dan untuk anak usia remaja tentu fungsinya jauh lebih kompleks lagi dari sekadar game, sms, dan telfon saja.

Persoalannya apakah masalah akan selesai dengan orangtua memata-matai anak dengan cara diam-diam membuka Hpnya atau mencari tahu password untuk bisa masuk ke wall anak? Mungkin tanggapan atas pertanyaan ini akan beragam. Yang pasti ada 2 akibat dari tindakan seperti ini, di antaranya:

·Anak akan merasa dikhianati. Orangtua yang dipercayainya selama ini ternyata telah melanggar kepercayaannya. Masuk ke wilayah privacy anak tanpa ijin adalah sebuah pelanggaran. Untuk selanjutnya anak akan sulit percaya pada orangtua. Padahal kepercayaan ini mahal harganya.

·Perasaan anak akan terluka. Boleh jadi tindakan anak akan semakin jauh menyimpang dikarenakan anak akan berpikir: saya berbuat yang baik-baik, orangtua tidak percaya. Sekalian saja saya melakukan penyimpangan. Toh hasilnya sama saja. Sama-sama tidak dipercayai.

Inti dari kekhawatiran banyak orangtua sebenarnya ada pada komunikasi. Dengan komunikasi yang hangat dan terbuka dengan mereka, peluang untuk menyimpang akan sangat kecil.  Sementara untuk memulihkan kondisi-kondisi terluka di atas, orangtua perlu meminta maaf  karena telah bertindak gegabah. Jangan ragu meminta maaf. Orangtua juga manusia yang bisa saja salah. Kepercayaan yang telah berhasil direbut dari anak, hendaknya menjadi pegangan buat orangtua, agar tidak lagi mengulangi hal yang sama di kemudian hari.

*Tulisan ini sekadar pengingat bagi saya pribadi, bukan ditujukan kepada siapa pun atau pihak-pihak tertentu. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun