[caption id="" align="alignnone" width="800" caption="http://www.thephuketnews.com/photo/listing/2014/1413003249_1.jpg"][/caption]
Dunia kembali bergembira dengan kehadiran tokoh-tokoh baru penggerak perdamaian. Malala Yousafzai dan Kailash Satyarthi dinobatkan sebagai peraih Nobel tahun ini atas perjuangan mereka untuk pendidikan anak. Tak sia-sia, Mahatma Gandhi atau Nelson Mandela yang telah berpulang pada 5 Desember 2013 yang lalu menyisakan pesan kepada dunia untuk tetap memperjuangkan hak-hak asasi manusia khususnya dalam menikmati hak kebebasan untuk hidup merdeka. Banyak tokoh yang kemudian melanjutkan misi perdamaian ini, menyebarluaskannya kepada dunia, agar kebebasan itu dapat menjadi hak setiap orang.
“Meraih kebebasan itu bukan berarti hanya melepas rantai seseorang, tetapi hidup dengan menghargai dan mendorong kebebasan orang lain.” Isi pesan Mandela inilah barangkali yang menjadi salah satu warisan inspirasi yang terus mendorong gerakan perdamaian hingga kini. Sehingga orang-orang ini tidak berhenti hanya sampai batas rantainya sendiri, akan tetapi terus berjuang membantu melepaskan rantai orang lain.
3 pesan damai Malala dan Satyarthi
Pertama, Malala adalah tokoh termuda sepanjang sejarah peraih penghargaan hadiah Nobel. Ia saat ini masih berusia 17 tahun. Ia mulai memperjuangkan hak bersekolah anak-anak perempuan Pakistan di wilayahnya. Ia mulai menulis di blognya saat masih berusia sekitar 11 atau 12 tahun. Dengan menceritakan betapa ngerinya hidup di bawah pemerintahan Taliban. Sebagai akibatnya, pada tanggal 9 Oktober 2012 ia ditembak oleh Taliban pada bagian kepala dan leher saat ia pulang dari sekolah. Selanjutnya ia dibawa ke Rumah Sakit Birmingham, Inggris untuk dirawat di sana. Lewat usahanya ini ia menyampaikan pesan kepada anak-anak di seluruh dunia agar mereka terus menuntut hak-haknya untuk bisa bersekolah.
Kedua, Malala dan Satyarthi berasal dari penganut agama dan suku yang berbeda. Malala seorang warga Muslim Pakistan, sementara Satyarthi adalah penganut Hindu India yang mana saat ini kedua wilayah tersebut dalam kondisi sedang bertikai. Perjuangan keduanya mengirimkan pesan kepada umat manusia di seluruh dunia, bahwa tak ada sekat suku dan agama jika memperjuangkan sebuah misi perdamaian.
Ketiga, tanpa mempedulikan latar belakang yang berbeda ini, Satyarthi pun menggandeng Malala untuk bergerak bersama memperjuangkan hak-hak anak di seluruh dunia. Jika Malala berjuang dalam memberikan hak-hak pendidikan pada anak-anak perempuan Pakistan, maka Satyarthi telah lebih dari tiga dekade berjuang untuk mengakhiri eksploitasi terhadap pekerja anak-anak selama ini demi meraih profit. Mereka telah berhasil membuka mata dunia akan kepedihan jutaan anak-anak yang bekerja sebagai budak.
Jika disimpulkan, kedua tokoh peraih Nobel ini ingin mengirimkan pesan bahwa misi perdamaian pun dapat dilakukan oleh anak-anak, bahwa suku dan agama bukan penghambat untuk menciptakan perdamaian, dan yang terakhir, dunia anak-anak hingga saat ini masih diliputi dengan kekerasan dan penindasan. Jika kita bukan bagian dari peraih Nobel dunia, setidaknya kita menjadi bagian dari orang-orang yang terus mendukung perdamaian di muka bumi dengan cara kita masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H