Pemerintah bersama DPR akhirnya menyepakati untuk memasukkan klausul angka kemiskinan dalam batang tubuh RUU APBN 2012. Dengan adanya klausul tersebut, persoalan pengentasan kemiskinan menjadi perintah langsung dan lebih konkret. Langkah ini tentu patut kita apresiasi, karena baru pertama kalinya memang masalah pengentasan kemiskinan masuk dalam UU APBN.
Hanya persoalanya kemudian, masalah kemiskinan tentu tidak bisa hanya disederhanakan sebatas hanya masalah statistik, hitungan angka, atau lembaran kertas semata. Ada yang lebih mendasar dan subtantif dari itu semua. Sebagai sebuah komitmen politik langkah tersebut tentu harus kita dukung. Tetapi, yang lebih penting dari semuanya adalah sebuah kebijakan, langkah nyata serta komitmen untuk mengurai akar masalah dan bukan malah memproduksi kebijakan yang menyebabkan rakyat berputar dalam lingkaran kemiskinan.
Seperti yang dipahami selama ini, persoalan kemiskinan telah sedemikian peliknya untuk diurai dan dipecahkan. Hal ini disebabkan adanya multispektrum dari makna kemiskinan, sehingga definisi dan pengukurannya pun tidak mudah dituntaskan dalam satu pengertian saja. Begitu pula soal penyebab kemiskinan yang juga amat kompleks, mulai dari soal struktural, kultural hingga sumberdaya. Semuanya tentu membutuhkan kebijakan yang komprehensip, terpadu dan tidak sepotong-sepotong serta sporadis-reaksioner.
Dalam konteks Indonesia, harus diakui bahwa penyebab utama munculnya kemiskinan adalah adanya malpraktik pembangunan akibat formulasi kebijakan ekonomi, sosial dan politik yang salah. Kebijakan ekonomi yang diproduksi sejak dulu hingga saat ini harus diakui lebih cenderung mendahulukan kepentingan pemilik modal dan sektor industri ketimbang pelaku ekonomi skala kecil serta sektor pertanian yang menjadi tumpuan hidup 60% lebih penduduk Indonesia.
Tak berhenti sampai disitu, kerapkali pelaku ekonomi kecil, seperti sektor informal, banyak digusur untuk digantikan dengan kegiatan ekonomi yang lebih modern, seperti pembuatan pabrik, pusat-pusat perbelanjaan dan sentra-sentra perdagangan. Pola semacam ini terus saja terjadi setiap tahun sehingga ruang bagi pelaku ekonomi kecil untuk mengerjakan kegiatan ekonominya semakin sempit. Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa tanpa pemihakan pemerintah dapat dipastikan pelaku ekonomi kecil akan tersingkir dan tergerus.
Sebetulnya selama ini telah banyak kebijakan yang diluncurkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah kemiskinan. Namun terdapat beberapa kelemahan dari kebijakan pengentasan kemiskinan tersebut. Pertama, kebijakan sering dilaksanakan secara seragam tanpa mengaitkan dengan konteks sosial, ekonomi dan budaya di setiap wilayah. Akibatnya, kebijakan pengentasan kemiskinan pun sering tidak relevan.
Kedua, definisi dan pengukuran kemiskinan selama ini lebih banyak dipasok dari pihak luar (externally imposed) dan memakai parameter yang terlalu ekonomis (moneter). Implikasinya, konsep penanganan kemiskinan mengalami bias sasaran dan mereduksi hakekat dari kemiskinan itu sendiri. Ketiga, penanganan program kemiskinan mengalami birokratisasi yang terlampau dalam, sehingga banyak yang gagal akibat belitan prosedur yang terlalu panjang. Keempat, kebijakan penanganan kemiskinan sering diboncengi motif politik yang amat kental, sehingga tidak memiliki makna bagi penguatan sosial ekonomi kelompok miskin.
Pertanyaannya kemudian, langkah seperti apa yang harus dilakukan guna memutus mata rantai kemiskinan dan agar kebijakan pengentasan kemiskinan tepat dan tidak salah sasaran? Di sinilah maka gagasan tentang ekonomi kerakyatan perlu diteguhkan kembali dan menjadi strategi serta arah pembangunan di masa depan.
Gagasan pembangunan ekonomi kerakyatan, seperti dikatakan Gran (1988), adalah sebuah konsep pembangunan dimana rakyat mempunyai kekuasaan mutlak dalam menetapkan tujuan dan mengelola swasembada maupun dalam mengarahkan jalannya pembangunan. Ada dua hal yang bisa disimpulkan dari pemikiran ini. Pertama, partisipasi rakyat merupakan unsur mutlak dalam pembangunan. Tugas pemerintah hanyalah menciptakan keadaan yang mendorong inisiatif rakyat dalam memenuhi kebutuhanya. Kedua, apa yang dikehendaki rakyat merupakan pilihan terbaik dari negaranya.
Dengan paradigma semacam itu, maka pembangunan yang berbasis kerakyatan berarti pembangunan ekonomi yang berorientasi kepada kesejahteraan rakyat. Artinya, bila sebagian besar kegiatan ekonomi disusun dan dibangun oleh usaha menengah dan kecil yang banyak menampung tenaga kerja, maka seharusnyalah sektor menengah dan kecil mendapat perhatian yang lebih besar. Namun demikian, usaha besar tetap diberi keleluasaan berkembang selama tidak mengganggu keharmonisan ekonomi.
Komitmen atas gagasan ekonomi kerakyatan ini menjadi penting untuk terus didesakkan kepada pengambil kebijakan karena realitas menunjukkan bahwa selama ini pengembangan usaha kecil dan menengah terbukti lebih mampu menjawab kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Selain itu, pembangunan ekonomi kerakyatan juga dinilai tidak hanya mampu menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi semata, tetapi juga memberikan kesejahteraan secara merata. Dan inilah sesungguhnya inti dari pembangunan yang berdimensi kerakyatan.