Karena itu, konsekuensi dari semangat pembangunan berdimensi kerakyatan adalah tersedianya dukungan kebijakan dari pengambil kebijakan (pemerintah) yang sesuai dengan visi perubahan. Di sini pemerintah harus berani merevisi kebiajkan-kebijakan yang selama ini hanya digunakan untuk mem-back-up aliran pembangunan dengan orientasi pertumbuhan ekonomi semata.
Untuk mewujudkan gagasan ekonomi kerakyatan dalam bentuk kebijakan yang lebih aplikatif, ada beberapa hal saya kira yang harus dilakukan pemerintah. Pertama, mengembalikan watak kebijakan publik kepada tempatnya semula, yakni bukan hanya mendapatkan legitimasi rasional, tetapi juga memperoleh pembenaran secara etis. Pada aras ini, setiap kebijakan tidak boleh meninggalkan kepentingan rakyat, walaupun secara ekonomi mungkin merugikan Negara.
Kedua, mengagendakan strategi pembangunan ekonomi yang memberi nisbah secara proporsional bagi seluruh rakyat. Dalam pengertian ini, setiap strategi dan kebijakan pembangunan harus mencerminkan kepada pemenuhan kebutuhan rakyat sehingga setiap hasil yang diperoleh benar-benar jatuh kepada sebagian besar masyarakat. Kebijakan yang hanya dibuka untuk memfasilitasi sebagian pelaku ekonomi dengan sendirinya harus minggir.
Dan ketiga, memberi penekanan terhadap penciptaan fasilitas publik yang ditujukan bagi sebagian rakyat yang terpuruk dalam proses pembangunan. Kebijakan ini penting karena dalam setiap proses pembangunan-betapapun baiknya-pasti selalu menyisakan sebagian rakyat dalam posisi yang tidak beruntung.
(Achmad Maulani, Staff Ahli Fraksi PKB DPR, Peneliti Ekonomi Politik pada Pusat Studi Asia Pasifik UGM Yogyakarta. Tulisan ini pernah dimuat di Koran Jakarta edisi 19 September 2011)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H