Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaanya di tahun 1945, menarik untuk diamati bagaimana rakyat Indonesia khususnya generasi muda dalam mengapresiasikan dan mengekspresikan nasionalismenya terhadap negaranya.Â
Generasi muda yang sering disebut dengan generasi milinel memiliki karakter yang cenderung kritis terhadap fenomena sosial dan bersikap liberal. Oleh karenanya patut kita munculkan pertanyaan, masih relevankah makna nasionalisme era generasi-generasi di awal kemerdekaan dengan generasi yang hidup sekarang ini karena memang mereka memiliki karakter yang berbeda?
Kita tahu sejarah perjuangan para pahlawan bangsa Indonesia sangatlah panjang. Membutuhkan pengorbanan yang sangat banyak, tidak hanya harta tetapi juga nyawa. Namun bagi para pejuang hal itu sangat layak mereka perjuangkan demi kemerdekaan bangsa Indonesia.Â
Latar belakang budaya, adat istiadat dan bahasa yang berbeda-beda menjadi tidak penting karena mereka ingin mendeklarasikan identitas negara yang bernama Indonesia sebagai rumah mereka.
Itulah yang menjadi alasan para pemuda waktu itu dengan identitas multinya seperti Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Betawi dan organisasi pemuda lainnya, bersepakat mengambil keputusan penting yang disebut dengan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.Â
Kesepakatan yang sangat bersejarah itu adalah membuat gerakan untuk melakukan pembaharuan dengan mengusung visi yaitu satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air.
Perjuangan para pemuda saat itu pun mendapatkan hasilnya, tepat tanggal 17 Agustus 1945 para founding bangsa ini memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan generasi saat ini pun menikmati hasil dari perjuangan para pahlawan bangsa yang terdahulu.
Kini setelah 73 tahun bangsa Indonesia menikmati kemerdekaannya, ada perjuangan versi lain yang harus dilakukan oleh rakyat Indonesia. Sekarang dunia kini jauh berbeda dibandingkan era sebelumnya.Â
Berkat teknologi peradaban manusia pun mengalami perubahan yang sangat masif. Dan ini mempengaruhi perilaku serta gaya hidup manusia yang pada akhirnya ikut menggeser pemaknaan nilai-nilai kebangsaan yang biasa kita sebut juga rasa nasionalisme.
Revolusi industri 4.0, dimana manusia hidup dalam peradaban digitalisasi dan teknologi informasi telah memberikan andil terjadinya pertukaran budaya hingga tidak ada lagi batas-batas nilai antar bangsa. Akibatnya di setiap negara amat memungkinkan muncul budaya-budaya baru yang saling mempengaruhi berkat bantuan teknologi digital tanpa bisa kita membendungnya. Dampak yang lebih jauh lagi dari hanya sekedar budaya adalah begitu mudah mengakses ideologi dari luar.
Jika kondisinya sudah seperti ini, pertanyaannya adalah bagaimana caranya bangsa ini bisa melindungi dirinya dari masuknya paham-paham ideologi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan?Â
Jawabannya adalah bangsa ini harus aktif memberikan edukasi kepada warganya sebagai pengguna teknologi informasi agar mampu mengelola dirinya sendiri secara arif dan mampu melindungi dirinya dari provokasi pikiran yang merusak.
Dampak dari teknologi informasi yang lain adalah narasi ke-Indonesia-an yang penuh dengan nilai-nilai luhur kini benar-benar diuji eksistensinya. Perbedaan suku, budaya dan bahasa yang berhasil disatukan sehingga dikenal dengan sebutan Bhinneka Tunggal Ika pada akhirnya mendapatkan ujian pemaknaannya karena gejala globalisasi.
Kita lihat bagaimana anak muda saat ini sangat menggandrungi budaya K-POP, budaya Jepang dan budaya dari negara-negara lain dibandingkan budaya negaranya sendiri. Mengapa ini bisa terjadi? untuk jawaban mudahnya adalah karena budaya dari luar sekarang ini mudah diakses berkat teknologi informasi. Di sisi lain jika kita tanyakan kepada generasi milineal, apakah yang membuat mereka bangga dengan Indonesia? Kebanyakan mereka pun bingung menjawabnya.
Atas dasar itu dipermukaan masyarakat pun akhirnya bertanya masih adakah rasa nasionalisme itu? Jawabannya saya yakin masih ada, namun pemaknaan nasionalisme harus diakui saat ini mengalami pergeseran karena munculnya era industri 4.0. Disamping itu karena memang adanya perbedaan karakter generasi antar generasi yang dipengaruhi oleh peradaban manusia.
Bagi generasi milineal, nasionalisme bukan lagi soal perang dengan Belanda, Jepang atau negara penjajah. Mereka adalah kaum rasional, oleh karenanya narasi nasionalisme yang mereka anut adalah narasi nasionalisme yang rasional. Itu karena batas-batas nilai antar bangsa yang semakin menipis disebabkan teknologi informasi.Â
Sehingga memungkinkan generasi milineal mudah mengkonsumsi informasi, budaya, gaya hidup dan trend yang bukan dari negara asalnya, yang pada akhirnya juga merubah sudut pandang dan pola pikirnya.
Namun demikian perlu dibuat catatan khusus disini, bahwa bukan berarti mereka tidak memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Hal ini bisa kita lakukan riset kepada mereka yang sangat menggandrungi budaya-budaya negara lain seperti budaya K-Pop, J-Pop atau budaya barat, mereka pasti akan merasa terusik dan bereaksi jika kedaulatan negaranya diganggu oleh negara lain. Pada beberapa kegiatan budaya dari negara luar yang sering dilaksanakan, banyak juga kaum anak muda yang menggunakan identitas bangsanya.
Dari perilaku ini, perlu kita garis bawahi bahwa rasionalitas nasionalisme generasi milineal bukanlah sebuah kemunduran bagi nilai-nilai kebangsaan. Adanya perubahan perilaku terhadap nasionalisme itu memang iya, karena yang diperjuangkan saat ini sangat berbeda. Namun semangat dan kejiwaan nasionalisme itu tetap bersemayam di hati sanubari.Â
Jadi Kita pun tidak perlu terlalu cemas dangan gaya, karakter dan cara mereka, namun tetap berupaya untuk selalu giat memberikan wawasan kebangsaan yang dikelola dengan kekinian dan menarik.
Soal nasionalisme ada moment unik yang ingin saya ceritakan. Kebetulan saya merupakan penggemar olahraga sepakbola, sehingga saat kejuaraan piala Asia U19 saya hadir ke stadion kebanggaan bangsa Indonesia, Gelora Bung Karno (GBK) untuk memberikan dukungan kepada Timnas Indonesia U19 melawan Timnas Jepang U19. Kurang lebih 60.000 suporter dari berbagai latar belakang yang berbeda memenuhi stadion GBK dengan memberikan dukungan penuh semangat.
Disitu saya melihat mereka memakai aksesoris dan baju jersey yang identik dengan identitas Indonesia. Mereka begitu semangat, bernyanyi, berteriak dan melakukan aktraksi keren untuk mendukung Tim yang dicintainya. Sekalipun pada akhirnya para pemain timnas mengalami kekalahan, tidak ada satupun para pendukung yang kecewa. Bahkan mereka terus mengelu-elukan dengan harapan permainan Timnas Indonesia terus berkembang.
Melihat kenyataan itu membuat saya tergelitik untuk merenungkan kembali makna nasionalisme era kini. Ternyata sekalipun teknologi telah membuat batasan nilai-nilai sosial dan budaya semakin menipis, namun rasa nasionalisme itu tetap ada. Sikap militan itu selalu hadir di segenap jiwa dan raga generasi anak muda manakala mereka merasa terpanggil untuk membela negaranya.
Merdeka !!
Terpublish juga di medium.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H