Jawabannya adalah bangsa ini harus aktif memberikan edukasi kepada warganya sebagai pengguna teknologi informasi agar mampu mengelola dirinya sendiri secara arif dan mampu melindungi dirinya dari provokasi pikiran yang merusak.
Dampak dari teknologi informasi yang lain adalah narasi ke-Indonesia-an yang penuh dengan nilai-nilai luhur kini benar-benar diuji eksistensinya. Perbedaan suku, budaya dan bahasa yang berhasil disatukan sehingga dikenal dengan sebutan Bhinneka Tunggal Ika pada akhirnya mendapatkan ujian pemaknaannya karena gejala globalisasi.
Kita lihat bagaimana anak muda saat ini sangat menggandrungi budaya K-POP, budaya Jepang dan budaya dari negara-negara lain dibandingkan budaya negaranya sendiri. Mengapa ini bisa terjadi? untuk jawaban mudahnya adalah karena budaya dari luar sekarang ini mudah diakses berkat teknologi informasi. Di sisi lain jika kita tanyakan kepada generasi milineal, apakah yang membuat mereka bangga dengan Indonesia? Kebanyakan mereka pun bingung menjawabnya.
Atas dasar itu dipermukaan masyarakat pun akhirnya bertanya masih adakah rasa nasionalisme itu? Jawabannya saya yakin masih ada, namun pemaknaan nasionalisme harus diakui saat ini mengalami pergeseran karena munculnya era industri 4.0. Disamping itu karena memang adanya perbedaan karakter generasi antar generasi yang dipengaruhi oleh peradaban manusia.
Bagi generasi milineal, nasionalisme bukan lagi soal perang dengan Belanda, Jepang atau negara penjajah. Mereka adalah kaum rasional, oleh karenanya narasi nasionalisme yang mereka anut adalah narasi nasionalisme yang rasional. Itu karena batas-batas nilai antar bangsa yang semakin menipis disebabkan teknologi informasi.Â
Sehingga memungkinkan generasi milineal mudah mengkonsumsi informasi, budaya, gaya hidup dan trend yang bukan dari negara asalnya, yang pada akhirnya juga merubah sudut pandang dan pola pikirnya.
Namun demikian perlu dibuat catatan khusus disini, bahwa bukan berarti mereka tidak memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Hal ini bisa kita lakukan riset kepada mereka yang sangat menggandrungi budaya-budaya negara lain seperti budaya K-Pop, J-Pop atau budaya barat, mereka pasti akan merasa terusik dan bereaksi jika kedaulatan negaranya diganggu oleh negara lain. Pada beberapa kegiatan budaya dari negara luar yang sering dilaksanakan, banyak juga kaum anak muda yang menggunakan identitas bangsanya.
Dari perilaku ini, perlu kita garis bawahi bahwa rasionalitas nasionalisme generasi milineal bukanlah sebuah kemunduran bagi nilai-nilai kebangsaan. Adanya perubahan perilaku terhadap nasionalisme itu memang iya, karena yang diperjuangkan saat ini sangat berbeda. Namun semangat dan kejiwaan nasionalisme itu tetap bersemayam di hati sanubari.Â
Jadi Kita pun tidak perlu terlalu cemas dangan gaya, karakter dan cara mereka, namun tetap berupaya untuk selalu giat memberikan wawasan kebangsaan yang dikelola dengan kekinian dan menarik.
Soal nasionalisme ada moment unik yang ingin saya ceritakan. Kebetulan saya merupakan penggemar olahraga sepakbola, sehingga saat kejuaraan piala Asia U19 saya hadir ke stadion kebanggaan bangsa Indonesia, Gelora Bung Karno (GBK) untuk memberikan dukungan kepada Timnas Indonesia U19 melawan Timnas Jepang U19. Kurang lebih 60.000 suporter dari berbagai latar belakang yang berbeda memenuhi stadion GBK dengan memberikan dukungan penuh semangat.
Disitu saya melihat mereka memakai aksesoris dan baju jersey yang identik dengan identitas Indonesia. Mereka begitu semangat, bernyanyi, berteriak dan melakukan aktraksi keren untuk mendukung Tim yang dicintainya. Sekalipun pada akhirnya para pemain timnas mengalami kekalahan, tidak ada satupun para pendukung yang kecewa. Bahkan mereka terus mengelu-elukan dengan harapan permainan Timnas Indonesia terus berkembang.