Mohon tunggu...
maulana yuniarto
maulana yuniarto Mohon Tunggu... -

aku cinta dia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasdem Tidak Sukses ‘Membeli’ Massa

28 Februari 2014   18:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:22 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_325153" align="alignleft" width="300" caption="foto:kompasiana"][/caption]

Maksud hati ingin menunjukkan kekuatan (show of force), namun yang terjadi justeru tidak sesuai harapan. Itulah yang terjadi pada Partai Nasional Demokrat (NasDem) yang baru kali pertama akan mengikuti Pemilu pada 2014 mendatang. Minggu lalu, tepatnya tanggal 23 Februari 2014, NasDem menggelar Apel Siaga sebagai persiapan menyambut Pemilu 2014.

Secara kasat mata, Apel Siaga NasDem di Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta memang dihadiri puluhan ribu massa. Namun, di balik itu, ada cerita yang patut menjadi evaluasi partai pimpinan Surya Paloh tersebut. Pihak panitia menyediakan sekitar 1000 bus untuk mengakut para simpatisan. Panitia berharap dengan 1000 bus yang sudah dibayar lunas tersebut bisa mengakut lebih dari 50 ribu massa. Namun, ketika melakukan kroscek, ternyata hanya ada sekitar 850 bus. Itupun tidak semua bus penuh dengan massa. Pertanyaannya, kemana 150 bus?

Wajar kalau panitia berang, karena semua bus sudah dibayar lunas. Mereka pun menduga ada sabotase terhadap Apel Siaga NasDem. Pertanyaan yang kemudian juga muncul adalah benarkan ada sabotase terhadap apel akbar tersebut?

Dari analisa politik menunjukkan bahwa massa NasDem kurang solid. Bayangkan, sudah disediakan bus, tinggal naik dan berangkat ke tempat acara, namun responnya kurang. Padahal untuk sekadar makan, panitia yang mengurus bus dan massa sudah mengalokasikan anggaran. Ini menunjukkan bahwa massa NasDem kurang solid untuk mendukung langkah partai.

Sementara itu menurut isu yang berkembang, NasDem tidak sukses mendatangkan massa bayaran. Maksudnya massa bayaran adalah orang-orang yang diberikan akomodasi (makan, minum, ongkos, dll) agar mau datang ke acara. Sudah menjadi rahasia umum, dalam sebuah perhelatan besar, selalu muncul korlap-korlap (koordinator) lapangan yang membawahi dan mengklaim memiliki massa dalam jumlah banyak.

Korlap-korlap itulah yang dimanfaatkan partai politik atau lembaga-lembaga politik yang akan mengadakan perhelatan besar. Melalui korlap-korlap tersebut, biasanya distribusi logistik disalurkan. Misalnya, korlap A membawahi massa sekian ribu atau sekian ratus. Atas massa yang diklaimnya, korlap tersebut akan mendapatkan sejumlah anggaran dan logistik untuk dibagikan ke massa. Tujuannya, supaya massa itu mudah diarahkan atau diajak ke suatu acara.

Khusus pada kasus NasDem, terjadi kegagalan dalam mengumpulkan massa. Belum lagi ulah nakal orang-orang yang sudah dipercaya oleh panitia. Hal ini terlihat dari jumlah bus yang disewa untuk mendatangkan massa. Dari 1000 bus yang sudah dibayar, ternyata hanya ada 850-an bus. Artinya, anggaran untuk 150 bus hilang, entah kemana.

Jadi, masalah yang terjadi pada Apel Siaga NasDem, bukan pada persoalan sabotase. Namun lebih kepada koordinasi dan banyaknya pihak yang bermain, serta tidak loyalnya para pendukung.

Masyarakat Sudah Pintar

Berkaca dari kasus Apel Siaga NasDem, perlu dipahami juga bahwa saat ini masyarakat Indonesia sudah pintar dan ‘melek’ politik. Masyarakat sudah paham dan mengerti tentang apa yang akan menjadi pilihannya dalam Pemilu, termasuk partai politik mana yang akan mendapatkan hak suaranya.

Masyarakat sudah pintar menilai perilaku partai politik, khususnya para elit politiknya, sehingga tanpa embel-embel uang atau bantuan logitik, mereka sudah mempunyai pilihan, jauh sebelum penyelenggaraan Pemilu. Memang harus kita akui, masih ada juga sebagian masyarakat yang muda dibeli, namun jumlahnya semakin berkurang, seiiring dengan peningkatan pendidikan di Indonesia. Kalau dahulu ada istilah ‘pilih yang bayar’, namun kalau sekarang yang berkembang adalah ‘ambil uangnya, jangan pilih orang atau partainya’.

Kondisi ini harus disadari oleh semua partai politik. Jangan lagi ada pemikiran masyarakat bisa dibeli. Sekarang, yang perlu dilakukan adalah menunjukkan kepada masyarakat bahwa partai politik dan orang-orang di dalamnya, memang bekerja untuk rakyat. Kalau sudah bisa menunjukkan itu, tanpa dibayar pun, masyarakat akan memilihnya.(***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun