Mohon tunggu...
Maulana M. Syuhada
Maulana M. Syuhada Mohon Tunggu... lainnya -

Founder Tim Muhibah Angklung https://www.angklungmuhibah.id Buku: 40 Days in Europe (2007), Maryam Menggugat (2013), The Journey (2019)

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Persib, Harus Berapa Nyawa Lagi yang Hilang?

28 September 2018   21:18 Diperbarui: 1 Oktober 2018   13:23 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

23 Februari 1985, ruang tengah di rumah penuh sesak. Seisi rumah, termasuk para om dan tante, adik-adik dari Ibu, menghentikan aktivitasnya dan berkumpul di ruang tengah untuk menyaksikan final Persib vs. PSMS Medan. 

Kapan lagi seisi rumah bisa kompak berkumpul, dan menikmati persembahan olah raga yang membuat "excitement" dan "sport jantung" selama dua jam, bahkan lebih. Mungkin cuma final  Piala Thomas atau Uber yang bisa menandinginya. Ajaibnya Persib, ibu dan para tante yang bukan penyuka bola pun ikut berkumpul dan menonton.

Persib akhirnya kalah 3-2 lewat adu pinalti. Yang teringat di memori saya yang masih kecil ingusan ini adalah bagaimana piawainya kiper PSMS waktu itu, Ponirin Meka. "Tangannya kaya pake lem" kata tante saya, kata-kata yang sampai sekarang masih terngiang di kepala. Sejak saat itu, kalau ada kiper yang tangkapannya bagus selalu disebut, "tangkapan ala Ponirin Meka". Buat saya yang tumbuh di era itu, rival bebuyutan Persib adalah PSMS Medan.

Saya coba googling berita final 1985, ternyata itu adalah final bersejarah karena memecahkan rekor penonton, 150 ribu orang, dan menjadi pertandingan terbesar dalam sejarah pertandingan sepak bola amatir dunia [1] dan masuk dalam Guinnes Book of Records [2]. Karena kapasitas Istora Senayan (sekarang GBK) yang hanya bisa menampung 110 ribu penonton, 40 ribu orang harus menonton di pinggir lapangan di dalam stadion. 

Dan hebatnya, tidak ada bentrok antar supporter, apalagi penyerangan supporter ke pemain. Kita tidak bicara seratus atau dua ratus orang yang menonton di pinggir lapangan, tapi 40 ribu orang. Bisa dibayangkan jika itu terjadi sekarang, apalagi jika timnya kalah. Itulah hebatnya supporter jaman dahulu.

tabloid bola
tabloid bola
 Kekalahan tahun 1985, terobati setahun setelahnya ketika Persib mengalahkan Perseman Manokwari di final perserikatan dengan gol semata wayang Djadjang Nurdjaman. Ibu langsung membelikan saya kaos Persib, tidak tanggug-tanggung dua buah, warna putih nomor 16 (Djadjang Nurdjaman) dan warna biru nomor 3 (Dede Iskandar). Entah kenapa ibu belinya nomor itu, mungkin karena Djanur pencetak gol kemenangan tapi mungkin juga karena cuma itu yang ada di jalan waktu beli Itulah kaos bola pertama saya, dan setia saya pakai kemanapun bermain bola. 

Tahun 1995 saya dan beberapa teman sekolah berangkat ke Senayan untuk menyaksikan final Liga Indonesia (Ligina) I antara Persib vs. Petrokimia Gresik. Tidak punya tiket, hanya modal nekat berangkat ke Jakarta, dengan harapan masih bisa dapat tiket "on the spot". Sampai di Senayan, tiket sudah habis. Kabar yang beredar, ada 20 ribu supporter Persib yang tidak bisa masuk karena stadion sudah penuh.

Jam sudah menunjukkan pukul 18.45 WIB, 15 menit lagi pertandingan dimulai, saya dan teman-teman pasrah, kami pun memutuskan untuk mencari warteg untuk menontonnya di TV. Tiba-tiba keajaiban terjadi, ada calo yang menawarkan tiket, harganya pun tidak jauh berbeda. Mungkin karena masih anak-anak, kami pun akhirnya diperbolehkan masuk, namun dengan syarat tidak boleh menggunakan atribut apapun. 

Setelah berada di dalam, kami baru sadar bahwa itu adalah sektor khusus pendukung Petrokimia. Kami terbenam di antara ribuan supporter Petrokimia. Semua bernyanyi meneriakkan yel-yel Petrokimia, berbicara, berteriak dan bernyanyi dalam bahasa Jawa. Kami hanya bisa terdiam, dan berpura-pura gembira bahagia ketika gawang Persib diserang Petrokimia. 

Ada perasaan takut ketahuan kalau kami adalah pendukung Persib. Namun hebatnya supporter kala itu, kami semua selamat, tidak mendapatkan penganiayaan sedikitpun. Tahun 1995 menjadi tahun yang indah karena gol semata wayang Sutiono mengantarkan Persib menjadi juara Ligina I. 

Akhir tahun 2005 saya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi ke Inggris. Saya tidak buang waktu, awal tahun 2006 saya datangi stadion Anfield di Liverpool untuk menonton friendly match Inggris vs. Uruguay. 

Saya bawa spanduk Persib, dan saya bentangkan di stadion Anfield dengan harapan bisa terekam kamera TV, sayangnya tidak Tahun 2009 saya pindah ke Manchester, kembali saya bawa spanduk Persib dan saya bentangkan di Stadion Old Trafford. Orang-orang Inggris di sekitar stadion bertanya, "What is this, Persib?" Saya jawab, "It is the best football club in the world!" Tidak sampai di situ, saya juga bentangkan spanduk Persib di kota lainnya.

dokpri
dokpri
Saya masih belum puas, awal tahun 2018, saya bawa spanduk dan baju Persib ke benua lainnya, Australia, dan melakukan flash mob angklung di kota Brisbane bersama tim Muhibah Angklung. Tidak sampai di situ, bulan Juli kemarin kami melakukan perjalanan ke Eropa. Kami membuat flash mob angklung di Budapest, Hungaria, bertema "Walking Dead" dengan skenario tiga supporter bola dikejar-kejar zombie dan hantu, baik hantu lokal (pocong, tuyul, dsb.) maupun hantu internasional (vampire, valak, dsb.). 

Ini adalah salah satu usaha kami demi angklung lebih dikenal dunia. Selain supporter Indonesia dengan baju merah dan lambang Garuda di dada, saya juga sertakan seorang supporter Persib. Saya bangga sebagai bangsa Indonesia, dan bangga sebagai supporter Persib. 

dokpri
dokpri
Namun hari ini, kebanggaan itu sirna, ketika melihat video seorang bocah tak berdaya yang sudah terkapar berlumuran darah, terus-menerus ditendangi kepalanya, bahkan dipukul berkali-kali dengan balok kayu sementara puluhan atau bahkan ratusan orang yang mengelilinginya hanya bisa menonton [3]. Dan bahkan lebih menyakitkannya lagi, mereka menganiaya dan menonton kebiadaban ini sambil mengumandangkan kalimat syahadat yang suci, "La ilaaha illallah" [4].

Apa kita masih bisa bangga, memenangkan pertandingan? Bertengger di puncak klasemen? Apa sekarang kita bisa berbahagia merayakan kemenangan ini, sementara di sebuah rumah di Jakarta sana, ada seorang ibu yang terus-menerus menangis karena tidak bisa bertemu lagi dengan anaknya. Ya, Haringga Sirla telah berpulang untuk selama-lamanya.

Apalah artinya juara kalau ada nyawa manusia yang menjadi korban. 

Di saat kita semua sedang berkabung, masih saja ada yang berkata, "Salah sendiri, sudah dibilang jangan datang ke Bandung, malah datang!" 

Serendah itukah kepekaan dan hati nurani kita? Ada seorang ibu yang anaknya dianiaya secara biadab hingga meninggal. Dan dia tidak akan pernah lagi bisa bertemu dengan anaknya. Bagaimana kalau ini terjadi pada keluarga kalian, pada anak, adik atau kakak kalian? Apakah kaliah sudah tidak punya hati nurani lagi?

Sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tidak boleh ada satu pun warga Indonesia yang takut datang ke stadion karena akan dihabisi. Negara macam apa ini, sampai harus ada penduduknya tidak bisa nonton ke stadion karena terancam akan dianiaya oleh supporter klub lawan. Kalau masih ada yang seperti itu, berarti stadion dan kota tersebut tidak layak untuk menyelenggarakan pertandingan, dan klub tersebut tidak layak ada di liga.

Sekarang, bukan kebanggaan yang ada, tapi malu yang semalu-malunya. Jika sekarang seluruh rakyat Indonesia marah dan menghujat kita, memang kita pantas mendapatkan itu semua.  

Minggu ini seharusnya menjadi minggu yang penuh kebahagiaan buat saya dan tim Muhibah Angklung karena kami akan merilis video flash mob Angklung di Budapest dimana dalam salah satu skenarionya menampilkan supporter Persib. Tapi kebanggaan itu sirna. Tidak ada kebanggaan memakai baju Persib lagi, yang ada adalah malu, malu yang luar biasa besarnya.

Para pelaku harus dihukum seberat-beratnya sesuai dengan hukum pidana yang berlaku. Saya bukan ahli hukum. Namun jika tidak menyalahi undang-undang, saya mengusulkan untuk menambahkan satu bentuk hukuman lagi bagi para pelaku, yaitu dimasukkan ke dalam kurungan, namun kurungan tersebut disimpan di tempat terbuka yang dijaga pihak keamanan untuk jangka waktu yang pendek saja, misalkan beberapa minggu. Setiap warga berhak mengunjungi kurungan tersebut dan langsung menyampaikan curhatan dan hujatannya kepada pelaku. 

Tidak boleh ada kontak fisik. Lokasi dan kurungan didesain sedemikian rupa, sehingga pengunjung hanya bisa menyampaikan suaranya tanpa melakukan kontak fisik. Netizen sekarang banyak yang mengecam di medsos, tapi sayangnya semua itu tidak pernah sampai atau dibaca oleh pelaku. Mudah-mudahan ketika semua curhatan dan kecaman ini langsung disampaikan ke pelaku, mereka akan sadar, betapa marahnya warga Bandung, warga Jawa Barat, bahkan seluruh rakyat Indonesia kepada mereka.

Hanya pelaku pembunuhan yang dihukum tidaklah cukup, dan tidak akan menyelesaikan masalah. Persib sebagai klub harus dihukum, harus diberikan hukuman yang sangat berat. Apakah dikeluarkan dari liga, didegradasi, atau dilarang tampil beberapa tahun, dsb.

29 Mei 1985, ketika berlangsung final piala Champion antara Juventus vs. Liverpool, 39 pendukung Juventus meninggal di stadion Heysel, Brussel, Belgia. Bukan hanya Liverpool yang dihukum, tapi semua klub Inggris dijatuhi sanksi, dilarang bertanding di kompetisi Eropa selama lima tahun. Dan semuanya patuh. Mungkin ini saatnya, menjatuhi sanksi, larangan bertanding kepada Persib selama lima tahun. Silahkan para pihak terkait dan yang punya otoritas berdiskusi dan memutuskan apakah hukuman yang paling adil yang harus diterima Persib.

Persib sebagai klub dan Bandung sebagai kota sudah gagal sebagai tuan rumah penyelenggara pertandingan. Kita gagal memberikan rasa aman. Kita gagal menjaga dan menyelematkan nyawa anak manusia.

Hukumannya harus benar-benar berat untuk menjadi pelajaran bagi seluruh klub di tanah air dan para pendukungnya. Hukumannya harus bisa menimbulkan efek jera. Hukumannya harus bisa menunjukkan bahwa negara benar-benar serius menangani kasus ini, tidak memberikan toleransi sedikitpun kepada siapapun yang bermain-main dengan nyawa manusia.

Bagi mereka yang mengeluhkan hukuman yang berat, coba renungkan dalam hati kalian, seberat apapun hukuman yang akan dijatuhkan tidak akan bisa mengembalikan nyawa Haringga. Haringga sudah tiada. Ibu Haringga seumur hidupnya tidak akan pernah bisa lagi bertemu dengan anaknya. 

Bagi yang masih saja protes, silahkan lihat kembali video penganiayaan yang benar-benar biadab ini: 

Video ini bisa saja ditonton oleh orang-orang di luar negeri. Bukan hanya Persib, atau warga Bandung yang tercoreng, tapi nama Indonesia. Begitu brutal dan biadabnya anak-anak kita! Di saat yang lain bekerja keras memberikan citra yang baik untuk Indonesia, masih ada saja yang mencoreng nama baik bangsa ini. Ini adalah pekerjaan rumah kita bersama.

Saya mengusulkan Persib untuk dihukum seberat-beratnya bukan karena saya benci Persib. Justeru karena saya peduli dengan Persib, dan peduli dengan bangsa ini. Agar kita sadar, agar kita berbenah, memperbaiki diri, agar kejadian ini tidak pernah terulang lagi, agar harkat dan martabat bangsa ini tetap kokoh berdiri tegak.

Untuk Indonesia yang lebih maju.

Maulana M. Syuhada (mms)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun